Senin, 31 Desember 2007

Tantangan Bagi Anggota KPU yang Baru



Tantangan Bagi Anggota KPU yang Baru

Oleh : Asnawin


Seorang pelari marathon, pasti belum lelah atau bosankalau baru berlari sejauh 20 kilometer. Sebaliknya, seorang pelari jarak pendek, pasti sudah bosan dan atau lelah setelah menempuh jarak lebih dari lima kilometer.
Entah berada pada kelompok mana ke-9 anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat periode 2002-2007. Apakahmereka tergolong pelari jarak jauh, pelari jarak menengah, atau pelari jarak pendek. Yang pasti, hanya tiga orang bertahan hingga garis finish.
Lima tahun lalu, kita menaruh harapan yang tinggi kepada Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin MA, dan kawan-kawan. Betapa tidak, delapan dari sembilan anggota KPU tersebut adalah dosen, yang tergolong "manusia suci", karena mengajarkan ilmu pengetahuan, melakukan penelitian, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat (termasuk kepada bangsa dan negara).
Tiga dari delapan dosen tersebut, bahkan tergolong "bukan dosen biasa", melainkan Guru Besar bergelar profesor. Seorang anggota KPU lainnya, pernah menjadi ketua umum organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) dari organisasi kemahasiswaan Islam.
Tetapi apa yang terjadi kemudian. Harapan tinggal harapan. Dari sembilan anggota KPU Pusat tersebut, hanya tiga yang bertahan hingga kini, sedangkan enam lainnya tersebar ke penjara, ke partai politik, dan ke kursi menteri.
KPU Pusat periode 2002-2007 memang mampu melaksanakan tugas-tugasnya, tetapi citranya menjadi kurang bagus.
Bagaimana dengan tujuh anggota KPU Pusat periode 2007-2012? Apakah mereka semua tergolong pelari jarak jauh? Apakah hanya sebagian yang masuk kategori pelari jarak jauh? Kita lihat saja nanti.
Yang pasti, lima dari tujuh anggota KPU Pusat yang baru, juga berlatar belakang dosen dan dua di antaranya Guru Besar (profesor). Dua lainnya, masing-masing berlatarbelakang profesi wartawan dan birokrat.
Dua anggota KPU baru tersebut sudah punya pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu dan Pilkada, karena mereka mantan anggota KPU provinsi, sedangkan seorang anggota KPU baru lainnya mantan anggota Panwaslu provinsi.
Terlepas dari pengalaman masa lalu dan kualitas ke-7 anggota KPU Pusat yang baru itu, bagaimana pun juga mereka sudah terpilih dari seleksi panjang nan ketat, dan kita mau tidak mau harus menaruh harapan besar kepada mereka.
Seorang ustaz muda dalam ceramah Ramadan di Makassar, mengatakan, kalau kita bercita-cita ingin membaca Alquran (30 juz) sampai tamat selama Ramadan, maka yakinlah itu akan tercapai.
Mengacu kepada pendapat ustaz tersebut, maka kalau ke-7 anggota KPU yang baru memang bercita-cita melaksanakan tugas dan kewajibannya hingga lima tahun ke depan, maka mereka harus yakin mampu melakukannya.

Libido Politik

Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban, serta bertahan selama lima tahun ke depan, ada beberapa peringatan yang perlu diperhatikan.
Pertama, anggota KPU yang baru sedapat mungkin berupaya menjaga kesehatan, terutama dengan berolahraga secara teratur, kesehatan fisik sangat berpengaruh kepada mental dan kinerja.
Kedua, anggota KPU harus mau bekerja keras. Tanpa kerja keras, mereka pasti akan sulit menghadapi berbagai tugas berat. Tugas KPU antara lain, merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilu, serta menerima, meneliti, dan menetapkan partai-partai politik yang berhak sebagai peserta Pemilu.
KPU juga bertugas membentuk PanitiaPemilihan Indonesia (PPI) dan mengoordinasikan kegiatan Pemilu, mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Selanjutnya, KPUmenetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan.
Ketiga, anggota KPU harus berani menghadapi tantangan. Kegagalan atau citra yang kurang bagus dari anggota KPU pusat sebelumnya merupakan tantangan.
Joseph Sugarman mengatakan; "Jika anda mau menerima kegagalan dan belajar darinya, jika anda mau menganggap kegagalan merupakan sebuah karunia yang tersembunyi dan bangkit kembali, maka anda memiliki potensi menggunakan salah satu sumber kekuatan paling hebat untuk meraih kesuksesan."
Senada dengan itu, Roger Van Oech mengatakan; “Ingatlah dua keuntungan yang kita peroleh dari kegagalan. Yang pertama adalah mempelajari apa yang tidak berjalan dengan baik; dan kedua adalah menjadi kesempatan bagi kita untuk mencoba pendekatan baru."
Sementara Confucius mengatakan; “Kejayaan tertinggi bukan karena kita tidak pernah jatuh, melainkan karena kita selalu bangkit lagi ketika gagal."
Tantangan yang akan dihadapi oleh anggota KPU ke depan, boleh jadi ibarat mendaki gunung yang tinggi, boleh jadi ibarat memanjat pohon pinang yang licin, serta boleh jadi ibarat memanjat pohon yang penuh onak dan duri.
Keempat, anggota KPU harus membentuk diri sebagai sebuah tim (team work) dan bekerja sama menghadapi berbagai masalan dan tantangan.
Kalau boleh mengusulkan kepada siapa pun presiden dan wapres terpilih pada 2009 nanti, tolong janganlah menarik salah seorang atau beberapa anggota KPU Pusat menjadi menteri atau pejabat negara.
Sebaliknya, kepada para anggota KPU yang baru, buanglah jauh-jauh libido politik dan tetaplah bercita-cita mengemban amanat sebagai anggota KPU hingga tahun 2012. Jadilah tim yang solid, yang senantiasa saling mengingatkan, yang bertolong-tolongan dalam kebaikan dan bukan bertolong-tolongan dalam kejahatan.
Orang-orang tua di kampung dalam bahasa daerah kerap mengingatkan agar kita tidak menempatkan diri atau menghindarkan diri dari posisi “telur di ujung tanduk” atau “air di daun talas.”
Selamat bertugas dan selamat menghadapi berbagai tantangan, semoga berhasil dan selamat hingga akhir masa tugas di tahun 2012.

Makassar, 1 November 2007

(tulisan ini dibuat untuk muat di majalah Info Sulsel, yang diterbitkan Badan Informasi Komunikasi dan Pengelolaan Data Elektronik Pemprov Sulsel)
Menanti Perda Pembentukan Dispora Sulsel


Oleh : Asnawin


Banyak yang mengeluh karena ketiadaan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), tetapi tidak sedikit juga yang khawatir jika Dispora dibentuk.

Pembina atau pejabat yang menangani Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) misalnya, mengeluh karena keberadaan mereka ada yang dibawahi oleh Subdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS), atau Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga (Diklusepora).

Mereka mengeluh karena tidak banyak pejabat yang mengerti fungsi dan tujuan keberadaan PPLP, serta minimnya dana untuk melakukan pembinaan di PPLP.

Tugas pokok PPLP adalah mencari calon-calon atlet berusia 13-18 tahun (setingkat SMP dan SMA) di berbagai kabupaten dalam satu provinsi yang berpotensi meraih prestasi tinggi.

Atlet pelajar berprestasi itu kemudian dikumpulkan oleh PPLP untuk dilatih secara intensif dan disekolahkan atas tanggungan dari pemerintah provinsi.

Keluhan juga biasanya datang dari pembina kepemudaan, yang antara lain menangani program pertukaran pemuda antarnegara (PPAN), pertukaran pemuda antarprovinsi (PPAP), sarjana penggerak pembangunan perdesaan (SP3), koperasi usaha pemuda produktif (KUPP), dan pemilihan pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibra).

Mereka mengeluh karena program-program tersebut membutuhkan orang-orang yang paham tentang kepemudaan dan juga dibutuhkan dana yang cukup besar, tetapi kebutuhan tersebut sepertinya agak diabaikan.

Selain pihak yang mengeluh, juga ada pihak yang khawatir jika Dispora dibentuk, terutama para pemuda yang berhimpun di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP).

Mereka khawatir jika Dispora dibentuk maka mereka tidak lagi bebas kesana-kemari mencari dana untuk membiayai berbagai program kegiatannya.

Selama ini, dengan tidak adanya Dispora, maka KNPI dan OKP lebih bebas kesana-kemari mencari dana atau bekerja sama dengan berbagai instansi atau pihak. Kalau Dispora dibentuk, maka dikhawatirkan tidak ada lagi bantuan dana atau pihak yang mau bekerja sama dengan KNPI dan OKP, karena menganggap semua kebutuhannya sudah bisa dipenuhi oleh Dispora.


Budaya Berolahraga


Terlepas dari berbagai keluhan dan kekhawatiran itu, perlu juga diketahui bahwa negara kita membutuhkan pemuda-pemuda yang sehat dan cerdas. Pemuda yang bagus derajat kesehatan dan kebugaran jasmaninya, serta terpuji perilakunya.

Sayangnya, masih banyak pemuda dan masyarakat pada umumnya yang tidak menjadikan olahraga sebagai bagian dari kebutuhan hidup, sehingga tidak melakukan olahraga secara teratur dan berkesinambungan.

Berolahraga belum menjadi budaya di tengah masyarakat, termasuk di kalangan pemuda. Itu tercermin dari tingkat kemajuan pembangunan olahraga Indonesia yang hanya mencapai 34 persen (Sport Development Index/SDI)pada 2004.

Index ini dihitung berdasarkan angka indeks partisipasi, ruang terbuka, sumber daya manusia (SDM), dan kebugaran.

Berdasarkan data SDI tersebut, dapat dilihat bahwa nilai indeks partisipasi masyarakat untuk berolahraga hanya mencapai 0,354. Artinya hanya 35% masyarakat yang turut berpartisipasi dalam keolahragaan.

Nilai tersebut menunjukkan masih rendahnya budaya olahraga di negara kita. Adanya sarana dan prasarana umum untuk berolah raga yang beralihfungsi menjadi pusat peradagangan dan fasilitas lainnya, menyebabkan semakin sempitnya ruang publik untuk olahraga, sehingga pada akhirnya mempengaruhi sikap dan minat masyarakat terhadap olahraga.

Akibatnya, prestasi olahraga para atlet menurun yang juga diakibatkan oleh kurang intensifnya pembibitan dan pembinaan prestasi olahraga dalam pengembangan olahraga yang berjenjang dan berkelanjutan.

Di sinilah pentingnya dinas khusus yang menanganikeolahragaan, agar pembinaan olahraga bisa dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan. Dispora juga nantinya bertugas mendorong terbentuknya atau aktifnya klub-klub cabang olahraga sebagai ujung tombak pembinaan atlet berprestasi dan pembinaan olahraga.

Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, sebagaimana diamanahkan dalam Program Pembangunan Jangka Panjang (RPJM) Nasional 2004–2009, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.

Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) itu diharapkan menjadi solusi atas berbagai permasalahan keolahragaan di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan.

Kedua produk hukum itu juga diharapkan dapat menumbuhkan budaya berolahraga dan meningkatkan prestasi untuk kemajuan pembangunan olahraga, namun kenyataannya tidaklah demikian.

Kenyataannya, kita memang membutuhkan Dispora untuk mencapai tujuan pembangunan bidang keolahragaan nasional, yakni (1) menumbuhkan budaya olahraga sejak dini melalui jalur pendidikan olahraga di sekolah dan masyarakat; (2) meningkatkan kualitas manusia Indonesia sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang cukup; (3) serta meningkatkan usaha pembibitan dan pembinaan olahraga prestasi.


Kepemudaan


Kita sepakat bahwa pemuda adalah tulang punggung pembangunan bangsa dan negara. Pemuda juga sudah menunjukkan perannya dalam membangun semangat perjuangan, perannya dalam terbentuknya negara Indonesia, perannya dalam memerdekakan bangsaIndonesia, serta perannya pascakemerdekaan RI.Maka tidak ada lagi alasan bagi pemerintah dan parapengambil kebijakan untuk memerhatikan danmemberdayakan pemuda. Juga tidak ada alasan untuktidak membentuk Dispora sebagai lembaga yang membuatdan menyusun program pembinaan kepemudaan di tingkatprovinsi dan kabupaten, sekaligus sebagai penyambung“silaturahim” antara pemuda dengan pemerintah.Pemuda dalam hal ini bukan hanya yang sedang menempuhpendidikan formal atau para sarjana, melainkan semuakomponen pemuda, termasuk yang putus sekolah danpemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap.Kita juga mungkin perlu bertanya, masih adakah jiwanasionalisme di dada pemuda Indonesia dewasa ini ?Masih ingatkah mereka tentang sejarah Sumpah Pemuda,sejarah Kebangkitan Nasional, dan sejarah KemerdekaanIndonesia ?Kita pun perlu bertanya mengapa banyak pemuda yangterlibat aksi unjukrasa, tawuran, dan menyalahgunakannarkotika dan zat-zat adiktif lainya (narkoba) ?Pemerintah sebenarnya menyadari betapa (1) rendahnyaakses dan kesempatan pemuda untuk memperolahpendidikan, (2) rendahnya tingkat partisipasi angkatankerja (TPAK) pemuda, (3) belum serasinya kebijakankepemudaan, (4) rendahnya kemampuan kewirausahaanpemuda, (5) penyaluran aspirasi yang cenderungdestruktif, serta (6) maraknya masalah sosial, sepertikriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zatadiktif, dan HIV/AIDS. Namun berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasisemua masalah tersebut tampaknya belum optimal. Peraturan DaerahMaka sekali lagi, di sinilah pentingnya pembentukanDinas Pemuda dan Olahraga. Lembaga tersebut diharapkanmampu menciptakan pemerataan pembinaan danpengembangan kegiatan keolahragaan, peningkatan mutupelayanan minimal keolahragaan, peningkatanefektivitas dan efisiensi manajemen keolahragaan,peningkatan kesehatan, kebugaran dan prestasiolahraga, serta meningkatnya peran pemuda sebagaipilar bangsa dalam menunjang pembangunan nasionalmelalui pendidikan kepemudaan.Dispora juga diharapkan memfokuskan pembinaan pemudadi Sulawesi Selatan secara merata, berjenjang, danberkesinambungan melalui koordinasi pembinaan yangberlangsung dari semua jalur pembinaan pendidikankepemudaan. Selain itu, Dispora diharapkan mampumeningkatkan pembinaan kelembagaan kepada wadahpembinaan organisasi dan instansi yang secara langsungmaupun tidak langsung mempunyai akses dalam pembinaanpemuda di kabupaten, provinsi, dan nasional. Sebelum membentuk Dispora, mungkin perlu dilakukankajian akademik dan sosial, serta melakukan studibanding ke satu atau beberapa provinsi yang telahlebih dahulu membentuk Dispora. Sebagai bagian daripemuda dan alumni Fakultas Pendidikan Olahraga danKesehatan (FPOK), saya berharap segera Pemprov Sulselsegera membuat Peraturan Daerah (Perda) PembentukanDinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).(Asnawin adalah wartawan dan aktif dalam beberapaorganisasi kepemudaan di Makassar)

Menanti Perda Pembentukan Dispora Sulsel

Menanti Perda Pembentukan Dispora Sulsel

Oleh : Asnawin

Banyak yang mengeluh karena ketiadaan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), tetapi
tidak sedikit juga yang khawatir jika Dispora dibentuk. Pembina atau pejabat yang menangani Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) misalnya, mengeluh karena keberadaan mereka ada yang dibawahi oleh Subdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS), atau Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga (Diklusepora).
Mereka mengeluh karena tidak banyak pejabat yang mengerti fungsi dan tujuan
keberadaan PPLP, serta minimnya dana untuk melakukan pembinaan di PPLP.
Tugas pokok PPLP adalah mencari calon-calon atlet berusia 13-18 tahun (setingkat SMP
dan SMA) di berbagai kabupaten dalam satu provinsi yang berpotensi meraih prestasi tinggi.
Atlet pelajar berprestasi itu kemudian dikumpulkan oleh PPLP untuk dilatih secaraintensif dan disekolahkan, atas tanggungan dari pemerintah provinsi. Keluhan juga biasanya datang dari pembina kepemudaan, yang antara lain menangani program pertukaran pemuda antarnegara (PPAN), pertukaran pemuda antarprovinsi(PPAP), sarjana penggerak pembangunan perdesaan (SP3), koperasi usaha pemuda produktif (KUPP), dan pemilihan pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibra).
Mereka mengeluh karena program-program tersebut membutuhkan orang-orang yang paham tentang kepemudaan dan juga dibutuhkan dana yang cukup besar, tetapi kebutuhan tersebut
sepertinya agak diabaikan.
Selain pihak yang mengeluh, juga ada pihak yang khawatir jika Dispora dibentuk, terutama para pemuda yang berhimpun di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP).
Mereka khawatir jika Dispora dibentuk maka mereka tidak lagi bebas kesana-kemari mencari dana untuk membiayai berbagai program kegiatannya. Selama ini, dengan tidak adanya Dispora, maka KNPI dan OKP lebih bebas kesana-kemari mencari dana atau bekerja sama dengan berbagai instansi atau pihak.
Kalau Dispora dibentuk, maka dikhawatirkan tidak ada lagi bantuan dana atau pihak yang mau bekerja sama dengan KNPI dan OKP, karena menganggap semua kebutuhannya sudah bisa
dipenuhi oleh Dispora.

Budaya Berolahraga

Terlepas dari berbagai keluhan dan kekhawatiran itu, perlu juga diketahui bahwa negara kita membutuhkan pemuda-pemuda yang sehat dan cerdas. Pemuda yang bagus derajat kesehatan dan kebugaran jasmaninya, serta terpuji perilakunya.
Sayangnya, masih banyak pemuda dan masyarakat pada umumnya yang tidak menjadikan
olahraga sebagai bagian dari kebutuhan hidup, sehingga tidak melakukan olahraga secara teratur dan berkesinambungan.
Berolahraga belum menjadi budaya di tengah masyarakat, termasuk di kalangan pemuda. Itu tercermin dari tingkat kemajuan pembangunan olahraga Indonesia yang hanya mencapai 34
persen (Sport Development Index/SDI) pada 2004.
Index ini dihitung berdasarkan angka indekspartisipasi, ruang terbuka, sumber daya manusia (SDM), dan kebugaran. Berdasarkan data SDI tersebut, dapat dilihat bahwa nilai indeks partisipasi masyarakat untuk berolahraga hanya mencapai 0,354. Artinya hanya 35% masyarakat yang turut berpartisipasi dalam keolahragaan.
Nilai tersebut menunjukkan masih rendahnya budaya olahraga di negara kita. Adanya sarana dan prasarana umum untuk berolah raga yang beralihfungsi menjadi pusat peradagangan dan fasilitas lainnya, menyebabkan semakin sempitnya ruang publik untuk olahraga, sehingga pada akhirnya mempengaruhi sikap dan minat masyarakat terhadapolahraga.
Akibatnya, prestasi olahraga para atlet menurun yang juga diakibatkan oleh kurang intensifnya pembibitan dan pembinaan prestasi olahraga dalam pengembangan olahraga yang
berjenjang dan berkelanjutan.
Di sinilah pentingnya dinas khusus yang menangani keolahragaan, agar pembinaan
olahraga bisa dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan.
Dispora juga nantinya bertugas mendorong terbentuknya atau aktifnya klub-klub cabang
olahraga sebagai ujung tombak pembinaan atlet berprestasi dan pembinaan olahraga.
Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional, sebagaimana diamanahkan dalam Program Pembangunan Jangka Panjang (RPJM) Nasional 2004–2009, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan PeraturanPemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.
Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) itu diharapkan menjadi solusi atas
berbagai permasalahan keolahragaan di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Kedua produk hukum itu juga diharapkan dapat menumbuhkan budaya berolahraga dan meningkatkan prestasi untuk kemajuan pembangunan olahraga, namun kenyataannya tidaklah demikian.
Kenyataannya, kita memang membutuhkan Dispora untuk mencapai tujuan pembangunan
bidang keolahragaan nasional, yakni (1) menumbuhkan budaya olahraga sejak dini melalui jalur
pendidikan olahraga di sekolah dan masyarakat; (2) meningkatkan kualitas manusia Indonesia
sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang cukup; (3) serta meningkatkan usahapembibitan dan pembinaan olahraga prestasi.

Kepemudaan

Kita sepakat bahwa pemuda adalah tulang punggung pembangunan bangsa dan negara. Pemuda juga sudah menunjukkan perannya dalam membangun semangat perjuangan, perannya dalam terbentuknya negara Indonesia, perannya dalam memerdekakan bangsa Indonesia, serta perannya pascakemerdekaan RI.
Maka tidak ada lagi alasan bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan untuk
memerhatikan dan memberdayakan pemuda.
Juga tidak ada alasan untuk tidak membentuk Dispora sebagai lembaga yang membuat dan menyusun program pembinaan kepemudaan di tingkatprovinsi dan kabupaten, sekaligus sebagai penyambung “silaturahim” antara pemuda dengan pemerintah.
Pemuda dalam hal ini bukan hanya yang sedang menempuh pendidikan formal atau para
sarjana, melainkan semua komponen pemuda, termasuk yang putus sekolah dan pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Kita juga mungkin perlu bertanya, masih adakah jiwa nasionalisme di dada pemuda Indonesia dewasa ini ? Masih ingatkah mereka tentang sejarah Sumpah Pemuda, sejarah Kebangkitan Nasional, dan sejarah Kemerdekaan Indonesia ?
Kita pun perlu bertanya mengapa banyak pemuda yang terlibat aksi unjukrasa, tawuran,
dan menyalahgunakan narkotika dan zat-zat adiktif lainya (narkoba) ?
Pemerintah sebenarnya menyadari betapa (1) rendahnya akses dan kesempatan pemuda untuk memperolah pendidikan, (2) rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pemuda, (3) belum serasinya kebijakan kepemudaan, (4) rendahnya kemampuan kewirausahaan pemuda, (5) penyaluran aspirasi yang cenderung destruktif, serta (6) maraknya masalah sosial, sepertikriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan HIV/AIDS.
Namun berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi semua masalah tersebut tampaknya
belum optimal.

Peraturan Daerah

Maka sekali lagi, di sinilah pentingnya pembentukan Dinas Pemuda dan Olahraga. Lembaga tersebut diharapkan mampu menciptakan pemerataan pembinaan dan pengembangan kegiatan
keolahragaan, peningkatan mutu pelayanan minimal keolahragaan, peningkatan efektivitas dan
efisiensi manajemen keolahragaan, peningkatan kesehatan, kebugaran dan prestasi olahraga,
serta meningkatnya peran pemuda sebagai pilar bangsa dalam menunjang pembangunan nasionalmelalui pendidikan kepemudaan.
Dispora juga diharapkan memfokuskan pembinaan pemuda di Sulawesi Selatan secara merata, berjenjang, dan berkesinambungan melalui koordinasi pembinaan yang berlangsung dari semua jalur pembinaan pendidikan kepemudaan. `Selain itu, Dispora diharapkan mampu peningkatkan pembinaan kelembagaan kepada wadah pembinaan organisasi dan instansi yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai akses dalam pembinaan pemuda di kabupaten, provinsi, dan nasional.
Sebelum membentuk Dispora, mungkin perlu dilakukan kajian akademik dan sosial, serta
melakukan studi banding ke satu atau beberapa provinsi yang telah lebih dahulu membentuk
Dispora.
Sebagai bagian dari pemuda dan alumni Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
(FPOK), saya berharap segera Pemprov Sulsel segera membuat Peraturan Daerah (Perda)
Pembentukan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). (penulis adalah wartawan dan aktif dalam beberapa organisasi kepemudaan di Makassar)

Keterangan : Tulisan ini dibuat untuk dimuat di Majalah Info Sulsel yang diterbitkan oleh
Badan Informasi, Komunikasi, Pengelolaa Data Elektronik Pemprov Sulsel.

Tugas Berat Pengurus Baru KNPI Sulsel

Tugas Berat Pengurus Baru KNPI Sulsel
(Renungan Bagi Peserta Musda)

Oleh: Asnawin

Sudah banyak yang tahu bahwa Komite Nasional PemudaIndonesia (KNPI) adalah wadah berhimpun Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan potensi pemuda lainnya.
Itulah sebabnya pengurus KNPI diharapkan dan seharusnya merupakan wakil-wakil dari seluruh OKP yang ada pada tingkatan masing-masing. Misalnya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KNPI, pengurusnya seharusnya terdiri atas masing-masing satu orang perwakilan dari setiap OKP tingkat nasional ditambah potensi pemuda lainnya yang tidak terhimpun di OKP.
Begitupun dengan pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I KNPI, pengurusnya tentu berasal dari OKP dan potensi pemuda lainnya di tingkat provinsi.
Kenyataannya, pengurus KNPI selalu didominasi kader dari salah satu partai politik tertentu dan secara tidak langsung menjadi salah satu “tangan” pemerintah.
Tak heran kalau KNPI selalu dipimpin atau diketuai oleh kader parpol tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Ketua KNPI pada masa lalu adalah “orang titipan” yang telah mendapat restu dari tiga jalur, yakni jalur “ABG” alias ABRI, Birokrat, dan Golkar.
Kalau bukan“orang titipan”, apalagi tidak mendapat restu dari jalur “ABG”, jangan harap bisa menjadi Ketua Umum KNPI. Karena dia “orang titipan”, maka Ketua KNPI biasanya akan mendapat tempat yang layak, baik di pemerintahan maupun di dewan (DPR RI/DPRD). Ketua KNPI juga akan mendapat tempat khusus pada setiap upacara atau peringatan hari-hari besar nasional.
Di era sekarang, KNPI sudah memiliki paradigma baru dan tidak lagi merupakan “tangan” penguasa. Ketua KNPI tidak lagi harus mendapat restu dari “ABG”. Otomatis ketua dan pengurus KNPI di era sekarang tidak lagi menjadi “anak emas”.
Ketua dan pengurus KNPI tidak lagi bisa seperti anak bayi yang jika menangis bisa langsung diberi air susu supaya kenyang dan diam. Meskipun kondisinya berbeda, sebenarnya ada persamaan antara pengurus KNPI era masa lalu dengan pengurus KNPI era sekarang, yaitu sama-sama melupakan atau lupa mensosialisasikan keberadaan KNPI ke tengah masyarakat.
Pengurus KNPI sejak dulu hingga sekarang lupa atau mungkin tidak tahu bagaimana mensosialisasikan keberadaan, fungsi, dan peran KNPI kepada para pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, profesional, dan kepada masyarakat umum.
Kalaupun dilakukan, pastilah tidak maksimal. Dalam banyak kesempatan, kerap terdengar orang bertanya; “Apa itu KNPI?”
Pertanyaan itu seharusnya tidak perlu muncul atau terlontar kalau pengurus KNPI berhasil melakukan sosialisasi. Kalau pertanyaan itu muncul dari masyarakat awam, mungkin masih agak bisa dimaklumi, tetapi ternyata mantan aktivis mahasiswa pun masih ada yang tidak mengenal KNPI dan bertanya; “Apa itu KNPI?”
Apa sajakah yang dilakukan oleh para pengurus KNPI sejak didirikan para 23 Juli 1973 hingga pengurus era milenium sekarang ini? Apakah para pengurus hanya sibuk dengan urusan politik praktis dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat? Apakah para pengurus memang tidak merasa sebagai wakil masyarakat melalui OKP dan potensi pemuda lainnya?
Sebagai pengurus KNPI Sulsel periode 2004-2007, penulis juga sebenarnya malu dan ikut merasa bertanggungjawab atas kegagalan mensosialisasikan “makhluk” bernama KNPI itu kepada masyarakat. Tetapi, secara pribadi penulis sudah berupaya melakukannya, baik melalui tulisan di media massa (cetak dan elektronik, termasuk di internet) maupun lewat berbagai kesempatan dalam kapasitas sebagai pengurus beberapa organisasi dan sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Lewat berbagai berbagai upaya itulah, penulis tahu dan merasa malu sendiri bahwa ternyata masih banyak pelajar, mahasiswa, guru, pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta, profesional, dan masyarakat umum yang tidak mengenal KNPI dan bertanya; “Apa itu KNPI?”
Kepada para calon ketua dan calon pengurus KNPI Sulsel periode 2007-2010 yang sedang mengikuti Musyawarah Daerah Pemuda/KNPI Sulsel di Hotel Singgasana, Makassar, 16-18 Desember 2007, penulis yang bakal “pensiun” karena faktor usia dan “tahu diri” (meminjam istilah HZB Palaguna, “is al”, issengi alemu), mohon izin menitipkan beberapa pesan.
Sebelum menjadi pengurus, bulatkanlah tekad untuk meluangkan waktu mengurus dan berhimpun di KNPI. Tak ada gunanya pintar, hebat, kaya, dan punya jaringan luas, kalau tidak ada waktu atau tidak bisa meluangkan waktu mengurus KNPI.
Ketua dan pengurus baru nanti, juga diharapkan menjadi “sahabat” Pemerintah Provinsi Sulsel. Sahabat yang tidak hanya pandai memuji atau menganggukkan kepala, tetapi juga mampu menunjukkan kesalahan sahabatnya (Pemprov), sekaligus bisa memberikan solusi atau jalan keluarnya.
Artinya, keberadaan KNPI Sulsel diharapkan tidak menjadi beban bagi Pemprov Sulsel, tetapi menjadi mitra yang produktif dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi Pemprov Sulsel.
Selanjutnya, ketua dan pengurus KNPI Sulsel ke depan diharapkan membuat program yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Pengurus KNPI diharapkan memilki kepedulian dan mampu ikut menjawab masalah-masalah yang kini mendera rakyat seperti : kemiskinan, kelaparan, rendahnya kualitas dan mahalnya biaya pendidikan, penganguran, mahalnya ongkos pengobatan dan harga obat-obatan, dan lain sebagainya.
Dalam rangka sosialisasi, pengurus KNPI Sulsel perlu membuat semacam program KNPI masuk ke sekolah atau KNPI masuk ke kampus, serta melibatkan pelajar dan mahasiswa dalam berbagai kegiatannya.
Dalam hal ini, KNPI bisa menjadi mediator atau fasilitator bagi sejumlah OKP yang berbasis pelajar dan mahasiswa. Ingat, pelajar dan mahasiswa adalah calon-calon pengurus KNPI yang sangat potensial dan generasi muda terpelajar calon pemimpin bangsa.

Libido Politik

KNPI memang tidak bisa dihindari sebagai “laboratorium kader”, sehingga banyak pengurus yang menjadikannya sebagai “ajang karier” politik. Juga tak perlu heran kalau di KNPI banyak trik dan intrik. Itu sah-sah saja dilakukan dan memang perlu terjadi di KNPI.
Politik boleh dilakukan oleh siapa, di mana, dan kapan saja, karena politik bukan milik siapa-siapa. Politik milik semua orang, milik kita semua. Entitas politik bisa muncul dari sekolah, kampus, pasar, mushalla, sanggar seni, tempat cukur, apalagi diwarung kopi.
Pemuda yang berhimpun di KNPI tidak boleh dilarang dan bahkan sebaiknya menjadikan KNPI sebagai “ajang karier” politik dan lain-lain.
Pemuda yang berhimpun di KNPI juga harus punya mimpi dan menggantungkan cita-cita untuk meniti karier atau meraih kesuksesan lebih tinggi. Tetapi tolong jangan lupakan paradigma barunya, tolong jangan abaikan kepentingan rakyat banyak, dan tolong lakukan sosialisasi agar jumlah orang yang bertanya; “Apa itu KNPI?” menjadi semakin berkurang. Selamat bermusyawarah! (penulis adalah pengurus KNPI Sulsel 2004-2007)

(dimuat di harian Fajar, Makassar, Senin, 17 Desember 2007)

Senin, 29 Oktober 2007

Pada Hari Sumpah Pemuda

Ketika para pejabat
Mengikuti upacara
Peringatan Hari Sumpah Pemuda
Sejumlah pemuda masih ngorok
Setelah semalaman mabuk-mabukan

Di saat para pemuda pelopor
Mengikuti upacara
Peringatan Hari Sumpah Pemuda
Sejumlah pemuda pengangguran
Asyik ngobrol di warung kopi

Pada Hari Sumpah Pemuda
Banyak pemuda yang bingung
Banyak pemuda yang pusing
Banyak pemuda yang teler
Banyak pemuda yang tersenyum kecut

Makassar, 29 Oktober 2007

Selasa, 23 Oktober 2007

Kesedihan Wartawan


(karya: asnawin)

Engkau termasuk makhluk mulia
Engkau ibarat Malaikat Jibril
Yang membawa ayat-ayat Tuhan
Dari langit kepada nabi dan rasul

Engkau termasuk makhluk mulia
Engkau ibarat nabi dan rasul
Yang menyebarkan berita
Dari langit kepada umat manusia

Kesedihanmu adalah kesedihan Malaikat Jibril
Kesedihanmu adalah kesedihan nabi dan rasul
Kesedihanmu adalah kesedihan para pemuka agama
Kesedihanmu adalah kesedihan penyeru kebajikan

Pernahkah engkau bersedih
Kapankah engkau bersedih
Bagaimana bentuk kesedihanmu
Di manakah engkau bersedih

Engkau tak perlu menjawabnya
Engkau tak perlu mengucapkannya
Engkau tak perlu menuliskannya
Karena aku sudah tahu

Engkau bersedih
Ketika tidak lagi
Diberi kepercayaan
Membuat berita

Engkau bersedih
Ketika tidak lagi
Punya kemampuan
Membuat berita

Engkau bersedih
Ketika tidak lagi
Punya media massa
Untuk menyebarkan berita

Makassar, 23 Oktober 2007

Sabtu, 20 Oktober 2007

Buat Pak Amin, Pak Syahrul, dan Pak Aziz

Assalamu alaikum ww......

Pemilihan Gubernur Sulsel secara langsung oleh masyarakat baru akan dilaksanakan pertama kali pada 5 November 2007.
Proses panjang telah dilalui yang diawali dengan munculnya beberapa nama calon gubernur (cagub), calon wakil gubernur (cawagub), kemudian sosialisasi yang dilakukan cagub dan cawagub, pendaftaran cagub dan cawagub secara resmi di KPU, gugurnya beberapa cagub dan cawagub karena tidak memenuhi syarat, serta hari ini, Sabtu, 20 Oktober 2007, sebagai hari pertama masa kampanye.
Banyak kejadian dalam proses penjang tersebut dan juga banyak uang yang berhamburan. Kita belum tahu apa yang akan terjadi hingga berakhirnya masa kampanye pada Rabu, 31 Oktober 2007 nanti. Kita juga belum tahu apa yang akan terjadi hingga hari pencoblosan nanti, apalagi setelah diketahui siapa pemenang Pilkada Gubernur Sulsel periode 2007-2012. Yang pasti, hingga hari pertama masa kampanye, masyarakat yang punya hak pilih belum juga mendapatkan kartu pemilih.
Kepada pak Amin Syam dan Prof Mansyur Ramly, kepada pak Syahrul dan Agus Arifin Nu'mang, serta kepada pak Aziz Qahhar Muzakkar dan Mubyl Handaling, saya ucapkan selamat berkampanye dan selamat berjuang.
, dan selamat

Kebahagiaan Seorang Ibu


Beberapa hari menjelang lebaran, hati Sitti Hajjah Hasnah Bali gembira bercampur gelisah. Gembira karena semua anak dan cucunya akan datang. Anaknya sebenarnya 12 orang, tetapi satu orang sudah meninggal, sehingga yang akan datang berkumpul 11 orang, ditambah 19 cucu.

Rabu, 10 Oktober 2007

Alamat Kantor Redaksi Media Massa


Kantor Harian Pedoman Rakyat, di Jl Arief Rate 29, Makassar, kini sudah tidak lagi difungsikan sebagai kantor, karena harian Pedoman Rakyat tidak lagi terbit sejak 2007. Harian Pedoman Rakyat terbit perdana pada 1 Maret 1947. (Foto: Asnawin)

Rabu, 03 Oktober 2007

Idris Arief Pernah Minta Diberhentikan Sebagai Rektor

“Pak Dirjen mengatakan, aksi unjukrasa dan tawuran terjadi di mana-mana. Seorang rektor baru dikatakan gagal kalau tridarma perguruan tinggi tidak berjalan. Beliau kemudian mengatakan, UNM mengalami banyak kemajuan, baik dalam pendidikan dan pengajaran, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat. Beliau menilai saya tidak gagal, tetapi cukup berhasil,” ungkap Idris Arief.

Selasa, 02 Oktober 2007

Ternyata

Ternyata

Oleh: Asnawin
email : asnawin@hotmail.com

Sebagai "orang baru" di organisasi profesi itu, Sasongko lebih banyak diam dan sesekali memuji "orang lama". Ada beberapa pengurus yang dianggapnya cukup berbobot dan punya visi bagus, salah seorang di antaranya yaitu Baskoro.
Baskoro yang anak mantan bupati, orangnya berani, tegas, serta punya visi yang jelas tentang organisasi, termasuk bagaimana menyejahterakan anggota.
Kebetulan Musyawarah Daerah (Musda) sudah dekat dan akan dipilih pengurus baru. Karena Sasongko orang baru, dia sama sekali tidak berniat menjadi ketua, sekretaris, atau pun bendahara, tetapi dia siap menjadi salah seorang pengurus.
Seperti biasa, terjadilah pengelompokan-pengelompokan di antara pengurus, dan tentu saja tidak sedikit yang bermuka dua.
Singkat cerita Baskoro terpilih menjadi sekretaris umum yang baru, mendampingi ketua umum yang juga anak mantan pejabat tinggi. Sasongko ditempatkan sebagai salah satu anggota bidang.
Karena ketua umum banyak kesibukan, maka Baskoro diberi kepercayaan penuh mengatur segala sesuatunya di organisasi. Kepercayaan itu dijawab dengan menertibkan adiministrasi dan mengontrol keuangan secara ketat. Kas organisasi pun menjadi sehat.
Sasongko makin kagum kepada Baskoro. Ia pun makin sering berdiskusi untuk menimba ilmu dan pengalaman dari Baskoro.
Sekitar satu tahun kemudian, tiba-tiba ada laporan bahwa Baskoro menggelapkan uang organisasi sekitar Rp 80 juta. Ketua umum pun terpaksa memanggil Baskoro untuk meminta penjelasan. Karena desakan pengurus lain, akhirnya ketua umum mengundang seluruh pengurus untuk rapat membahas masalah "penggelapan" uang yang dilakukan Baskoro selaku sekretaris umum.
Di depan pengurus, Baskoro berupaya memberikan penjelasan bahwa uang sekitar Rp 80 juta itu hanya ia pakai sementara dan segera dikembalikan, tetapi penjelasan itu tidak bisa diterima dan Baskoro diminta mengundurkan diri selaku sekretaris.
Kekaguman Sasongko kepada Baskoro pun menjadi sirna.
"Ah, ternyata," kata Sasongko dalam hati.

***

Ahmed yang seorang jaksa muda sangat kagum kepada Fulan bin Fulan. Ahmed kagum karena Fulan bin Fulan yang mantan jaksa senior, cukup disegani sebagai salah satu dari lima anggota Komisi Pengawas Lembaga Peradilan.
Fulan bin Fulan dinilai sebagai "orang bersih" dan selalu bersikap tegas bila ada jaksa atau hakim yang memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi.
Ahmed pun berangan-angan suatu saat nanti dirinya menjadi jaksa senior dan disegani. Syukur-syukur kalau kelak dirinya terpilih menjadi anggota Komisi Pengawas Lembaga Peradilan, atau Jaksa Agung Muda.
Ketika membaca koran harian pagi sebelum ke kantor, Ahmed sangat kaget membaca berita ditangkapnya Fulan bin Fulan, karena tertangkap tangan menerima uang ratusan juta rupiah ditambah puluhan ribu dolar AS, dari seseorang. Uang tersebut diduga merupakan "fee" hasil penjualan tanah untuk pembangunan kantor Komisi Pengawas Lembaga Peradilan.
Di dalam rumah tahanan, Fulan bin Fulan berupaya memberikan penjelasan tentang "duduk perkara yang sebenarnya". Pengacaranya pun memperkuat penjelasan tersebut dengan mengatakan bahwa kliennya dijebak, padahal kliennya bermaksud baik.
Ahmed berupaya berbaik sangka kepada Fulan bin Fulan, tetapi ternyata banyak komentar sinis yang bermunculan dan malah Fulan bin Fulan dinonaktifkan sebagai anggota Komisi Pengawas Lembaga Peradilan.
Kekaguman Ahmed kepada Fulan bin Fulan pun menjadi sirna.
"Ah, ternyata," kata Ahmed dalam hati.

***

Luh Kenanga sedang asyik makan bersama suami dan keempat anak-anaknya di restoran kecil di pinggir pantai. Tiba-tiba suaminya mengucapkan salam dan memberi hormat kepada seorang pria yang memakai songkok hitam yang baru masuk bersama seorang wanita muda memakai jilbab.
Pria yang tampak cukup berwibawa dan umurnya berkisar 50 tahun itu, membalas salam yang diucapkan suami Luh Kenanga dan langsung mendatangi mereka. Pria berwibawa itu kemudian berbasa-basi sejenak, sebelum duduk di meja lain.
Tak lama kemudian pemilik restoran datang dan menyapa dengan hormat, lalu menyalami pria berwibawa tersebut. Pemilik restoran kemudian memanggil beberapa karyawannya dan meminta segera menyiapkan makanan dan minuman favorit pria berwibawa tersebut bersama isterinya.
Dalam perjalanan pulang, Luh Kenanga bertanya kepada suaminya tentang pria berwibawa itu.
"Beliau itu seorang anggota parlemen. Rumahnya empat dan mobilnya banyak. Wanita yang dibawanya tadi adalah isteri keempat," jelas suaminya.
"Bapak kenal dimana?," tanya Luh Kenanga setelah menyembunyikan perasaan kagetnya.
"Beberapa tahun lalu saya ke kantornya. Waktu itu, beliau belum menjadi anggota parlemen, tetapi seorang pengusaha yang cukup sukses. Saya datang sekitar jam empat sore. Beliau kaget karena saya datang ketika beliau sedang makan, padahal waktu itu bulan puasa. Tanpa saya minta, beliau langsung menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa puasa karena sakit maag," tutur suaminya sambil tersenyum.
Mendengar penuturan suaminya, Luh Kenanga hanya berkomentar singkat; "Ah, ternyata."

***

Amoy tidak tahan juga selalu diledek, apalagi ia akan segera menikah dengan pacarnya. Sang pacar juga kerap meledeknya, meskipun hanya bercanda.
Ya, Amoy yang cantik sering diledek, karena ia selalu mendengkur kalau tidur. Karena takut malu di rumah mertuanya kelak, Amoy pun segera berkonsultasi ke dokter THT.
Kepada dokter yang juga seorang wanita cantik, Amoy mengemukakan keluhannya. Sebaliknya, setelah mendengar keluhan Amoy, sang dokter cantik hanya memberikan penjelasan singkat dan sedikit nasehat.
"Dengkuran itu menandakan adanya penyumbatan di saluran pernapasan saat seseorang sedang tidur. Suara dengkuran berasal dari usaha udara untuk melewati saluran yang menyempit itu. Banyak penyebab orang mendengkur dan percayalah Anda tidak sendiri. Menurut data yang layak dipercaya, mendengkur diderita oleh satu dari lima orang dewasa. Dan jangan bilang-bilang ya, saya juga pendengkur, tetapi suami saya bilang, bunyi dengkur saya agak seksi," papar sang dokter.
Mendengar pemaparan sang dokter, Amoy hanya bilang; "Ah, ternyata."

Makassar, 30 September 2007

copyright@Pedoman Rakyat
Makassar, 1 Oktober 2007


Prof Idris Arief: Kadang-kadang Saya Menangis


Di sisi lain, minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke UNM juga tidak berkurang dan malah cenderung bertambah, karena UNM bukan lagi sekadar mencetak tenaga kependidikan, melainkan juga mencetak tenaga non-kependidikan alias sarjana ilmu murni. Ketika Idris Arief terpilih menjadi rektor pada periode pertama 1999, jumlah mahasiswa UNM hanya 8.719 orang, tetapi tahun 2007 jumlahnya 17.235 orang.

Prof Idris Arief, 8 Tahun Menakhodai UNM


“Bayangkan, saat terjadi krismon, saat harga barang-barang mahal, anggaran untuk perguruan tinggi dipangkas dan tidak boleh ada pembangunan fisik, padahal kebutuhan kampus meningkat,” ungkap Idris Arief.

Kamis, 27 September 2007

Diramal Bakal Tinggi Pangkatnya

Drs Hanafi Mappasomba MPd

Diramal Bakal Tinggi Pangkatnya

Cita-citanya sebenarnya sederhana, yakni ingin menjadi guru, tetapi perjalanan hidup kemudian membawanya menjabat Wakil Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel dan setelah pensiun kini diberi kepercayaan menjabat Ketua Badan Akreditasi Provinsi Sulsel.
Begitulah pengalaman Drs Hanafi Mappasomba MPd. Ia tak pernah membayangkan akan menjadi pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi.
Dibesarkan di lingkungan keluarga yang sederhana, Hanafi kecil pun hanya mencanangkan cita-cita sederhana.
Karirnya dimulai sebagai guru Sekolah Dasar (SD) pada 1967, kemudian beralih menjadi guru Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK), guru Sekolah Menengah Teknologi Kerumahtanggaan (SMTK), lalu masuk menjadi pejabat di lingkungan Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Sulsel (sekarang Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel).
Hanya beberapa tahun di lingkungan Depdikbud, Hanafi kemudian kembali ke sekolah dan menjadi Kepala SMA Negeri 10 Makassar. Tahun 1994, ia masuk lagi di Depdikbud Sulsel lalu menjabat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pangkep, dan akhirnya ditarik lagi menjadi Wakil Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel hingga pensiun pada 2006.
"Teman-teman saya semasa SMP dulu mengatakan, saya pernah diramal oleh seorang narapidana. Saya sudah lupa, tetapi teman-teman masih ingat. Narapidana itu katanya mengatakan bahwa anak ini, maksudnya saya, akan tinggi pangkatnya. Saya memang memulai jadi PNS dengan pangkat 2-A dan pensiun dengan pangkat 4-D. Ini adalah pangkat tertinggi di fungsional," ungkap Hanafi kepada "PR", di Makassar, belum lama ini.
Menyinggung kiat-kiat hidupnya, ayah dari empat anak dan kakek dari enam cucu itu, mengatakan, kalau ada sesuatu yang baik yang diinginkan, maka niatkanlah dalam hati dan berupayalah dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya.
"Sewaktu belum pernah menginjak Jakarta, saya sangat mendambakan melaksanakan salat di Masjid Istiqlal. Setelah mendapat kesempatan ke Jakarta, saya langsung memenuhi dambaan saya itu dan hingga kini saya selalu salat di Masjid Istiqlal setiap ke Jakarta," papar suami dari Dra Andi Tenriani MSi (dosen Unismuh Makassar).
Keinginannya untuk menunaikan ibadah Haji dan umrah juga tercapai berkat niat yang baik dan berupaya mewujudkannya.
Hanafi yang sudah cukup lama menjabat Ketua YPLP PGRI Sulsel, juga mengungkapkan bahwa sejak mengenal agama Islam, dirinya tak pernah meninggalkan salat dan ibadah puasa di bulan Ramadan.
"Rasanya ada sesuatu yang tidak selesai kalau saya belum salat," tuturnya. (win/pr)

copyright@Pedoman Rakyat
Makassar, 18 September 2007


Rabu, 26 September 2007

Mimpi Memanjat Pohon Kelapa Meliuk-liuk




Mimpi kadang disebut sebagai bunga tidur, bahkan mimpi di siang hari alias mimpi di siang bolong sama sekali tidak bisa dipercaya. Tetapi tak jarang, ada mimpi kita pada masa bocah atau ketika masih kuliah yang kemudian menjadi kenyataan. Begitulah pengalaman Drs H Mukhlis MPd, Kasubdin Agama dan Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel. (Foto: Asnawin)

Selasa, 25 September 2007

Menyelesaikan Konflik di Bulan Ramadhan


Ada beberapa pengalaman menarik H Patabai Pabokori ketika masih menjabat Bupati Bulukumba (periode 1995-2000, dan periode 2000-2005). Pengalaman tersebut antara lain mengadakan menyelesaian konflik antar-kelompok yang bertikai melalui wisata rohani ke Masjid Al Markaz Al Islami di Makassar, pada bulan suci Ramadan.

Senin, 24 September 2007

Sungguh Terlalu!

Sungguh Terlalu
Oleh: Asnawin
email : asnawin@hotmail.com

Sepasang suami isteri bersama dua anaknya yang masih bocah, berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan. Setelah berbelanja di sebuah supermarket, sang isteri mengajak suami dan anak-anaknya ke toko pakaian.
Dari luar toko terpampang tulisan besar Diskon 50%+20%. Ada juga yang tertulis langsung Diskon 70%.
Setelah melihat-lihat, ternyata memang banyak pakaian yang diskon, mulai dari 10% hingga 70%. Tetapi setelah diteliti, ternyata harga pakaian sudah dilipatgandakan dari harga normal.
Pakaian yang sebelum Ramadan harganya paling tinggi Rp 35.000, kini harganya menjadi Rp 133.000, kemudian di atasnya ada kertas bertuliskan diskon s/d 70%. Itu artinya, diskon pakaian belum tentu 70%, melainkan paling tinggi 70%. Tulisan 's/d' yang artinya 'sampai dengan', juga ditulis dengan huruf kecil, sehingga banyak orang terkecoh.
Masih di toko pakaian yang sama, ada tulisan "harga mulai dari Rp 15.000", tetapi tulisan "mulai dari" sangat kecil sehingga nyaris tidak terbaca oleh pengunjung.
Dengan berbagai bentuk penipuan itu, akhirnya banyak pengunjung yang terkecoh sehingga ada beberapa kejadian lucu.
Ada pengunjung yang tersenyum-senyum, ada pengunjung yang mengejek penjaga toko, ada pengunjung yang mengumpat, dan ada juga pengunjung yang batal membayar pakaian yang sudah dipilih, karena ternyata harganya tidak sesuai yang disangka sebelumnya.
"Sungguh terlalu!," kata sang isteri kepada suaminya.

***

Pada hari Sabtu, sang isteri mengajak suaminya ke pasar untuk persiapan buka puasa dan makan sahur. Suasana hati sang isteri sedang bagus, karena suaminya memberikan uang yang cukup untuk berbelanja, dan sepanjang jalan menuju pasar, keduanya asyik bercanda ria.
Di pasar, sang isteri masuk ke pasar, sedangkan suaminya menunggu sambil membaca koran di tempat parkir. Sekitar satu jam kemudian, sang isteri muncul dengan wajah yang kurang ceria.
Sebelum ditanya, sang isteri langsung 'memberitakan' bahwa harga ikan, sayur, dan rempah-rempah naik drastis, sehingga sisa uangnya tinggal sedikit.
"Sungguh terlalu!," kata sang isteri kepada suaminya.

***

Pulang dari pasar dan sebelum berbelok masuk ke halaman rumah kontrakannya, pasangan suami isteri itu berpapasan dengan ibu paruh baya tetangganya yang kaya raya dan rumahnya besar tetapi tertutupi oleh pagar dan tembok tinggi.
Sang isteri tersenyum dan suaminya pun menunduk, tetapi tetangganya hanya memandang mereka dengan tatapan mata kosong, tanpa tegur sapa, dan tanpa senyum sama sekali.
"Sungguh terlalu!," kata sang isteri kepada suaminya.

***

Sambil memasak, sang isteri mengajak suaminya ngobrol-ngobrol. Obrolan santai terjadi, tetapi keduanya tidak saling memandang, karena sang isteri sambil memasak dan suaminya sambil membaca koran.
Suaminya kemudian membacakan sebuah berita aksi unjuk rasa sejumlah karyawan di sebuah perusahaan. Para karyawan itu protes karena perusahaan memberlakukan berbagai aturan yang ketat, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan, padahal perusahaan mendapatkan keuntungan besar dalam beberapa tahun terakhir.
Para karyawan juga menuntut pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) sesuai aturan yakni dibayarkan paling lambat satu minggu sebelum lebaran, dan besarnya minimal sama dengan gaji sebulan.
Tahun lalu, perusahaan itu terlambat membayarkan THR dan besarnya pun hanya 70% dari gaji.
"Sungguh terlalu!," kata sang isteri kepada suaminya.

***

Seusai buka puasa dan salat magrib, sang isteri mengambilkan suaminya kue dan teh hangat. Bersama kedua anaknya, mereka pun makan kue sambil ngobrol.
Ketika sang isteri sedang mengangkat gelas yang berisi teh hangat, tiba-tiba terdengar suara petasan yang cukup besar. Sang isteri kaget dan gelasnya terlepas jatuh. Gelas pecah dan tentu saja air tehnya tumpah.
"Sungguh terlalu!," kata sang isteri kepada suaminya.

Makassar, 22 September 200

(dimuat di harian Pedoman Rakyat
Makassar, Senin, 24 September 2007)


Senin, 17 September 2007

Puisi Buat Si Polan

Puisi Buat Si Polan
Oleh : Asnawin
email : asnawin@hotmail.com

Abunawas kaget mendengar berita tentang dijatuhkannya vonis dua tahun penjara kepada Si Polan. Abunawas kaget karena Si Polan baru dua hari lalu dilantik sebagai anggota parlemen pengganti artarwaktu.
Nalurinya sebagai seniman langsung bekerja. Abunawas ingin membuat puisi buat Si Polan. Ia pun segera mengumpulkan serpihan ingatannya tentang Si Polan. Maka meluncurlah beberapa bait.

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Biasa-biasa saja

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Tidak terlalu dikenal

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Bukan mahasiswa berprestasi

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Bukanlah siapa-siapa

Abunawas kembali membuka memorinya tentang Si Polan. Belasan tahun lalu, ia berkenalan dengan Si Polan dan ingatannya pun kembali.

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Menjadi pegawai negeri sipil

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Aktif berorganisasi

Setelah meraih sarjana
Si Polan....
Memimpin sebuah perusahaan

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Menjadi terkenal

Abunawas tidak pernah akrab dengan Si Polan, karena dirinya bukanlah siapa-siapa di mata Si Polan. Abunawas hanya seorang seniman yang penghasilan dan hidupnya pas-pasan. Abunawas kemudian melanjutkan puisinya.

Si Polan muncul
Sebagai wakil dari generasi muda
Yang cukup menonjol

Si Polan dianggap sukses
Mengelola dan membesarkan
Perusahaan titipan banyak orang

Si Polan pun dianggap sukses
Memimpin
Sebuah organisasi kepemudaan

Si Polan kemudian
Memimpin
Sebuah organisasi olahraga

Si Polan berhasil
Mengangkat prestasi
Tim olahraga yang dipimpinnya

Si Polan menjadi publik figur
Kemudian
Terpilih menjadi anggota parlemen

Si Polan lalu muncul
Sebagai orang yang berkiprah
Di Ibukota Negara

Abunawas cukup bangga karena orang sekampungnya berhasil meniti karir dan meraih prestasi di tingkat nasional. Tidak banyak orang sekampungnya yang mampu menonjol di tingkat nasional.

Di tingkat nasional
Si Polan lagi-lagi
Mendapat kepercayaan

Di tingkat nasional
Si Polan terpilih memimpin
Perusahaan milik orang banyak

Di tingkat nasional
Si Polan terpilih memimpin
Organisasi olahraga

Kebanggaan Abunawas kepada Si Polan makin bertambah, karena orang sekampungnya itu kemudian menjadi buah bibir, berkat berbagai prestasi yang diukirnya.

Nama Si Polan melambung
Nama Si Polan terkenal
Nama Si Polan menjadi buah bibir

Yang membuat Abunawas senang dan terharu, karena dirinya tak pernah mendengar cerita miring tentang Si Polan. Tak ada cerita tentang perselingkuhan, ekstasi, narkoba, dan kehidupan malam.

Tapi, Si Polan biasa-biasa saja
Tapi, Si Polan tetap tampil sederhana
Tapi, Si Polan tetap rajin beribadah

Si Polan kaya raya
Si Polan punya kedudukan
Si Polan tetap Si Polan

Banyak orang
Yang....
Memuji Si Polan

Banyak orang
Yang....
Bergantung kepada Si Polan

Banyak orang
Yang....
Memanfaatkan Si Polan

Itulah sebabnya Abunawas kaget luar biasa setelah mendengar berita tentang vonis penjara dua tahun ditambah denda puluhan juta rupiah kepada Si Polan.

Tiba-tiba...
Si Polan tersandung
Dan jatuh

Tiba-tiba...
Si Polan terjerat
Kasus korupsi

Tiba-tiba...
Si Polan sakit
Dan mendapat perawatan

Kemudian...
Si Polan diadili
Dan masuk bui

Kemudian...
Nama Si Polan
Rusak

Kemudian...
Nama Si Polan
Hancur

Banyak orang yang kaget
Banyak orang yang heran
Banyak orang yang bertanya-tanya

Abunawas masih tidak percaya. Bernarkah Si Polan seorang koruptor. Ia ragu, tetapi bagaimana pun, putusan pengadilan tidak bisa ditampik begitu saja.

Benarkah Benarkah...
Si Polan...
Korupsi...?

Benarkah...
Si Polan...
Jahat...?

Benarkah...
Si Polan...
Pendusta...?

Jawablah Polan!
Benarkah semua itu?
Benarkah mereka?

Jawablah Polan!
Benarkah kamu korupsi?
Benarkah kamu jahat?

Jawablah Polan!
Benarkah kamu pendusta?
Benarkah kamu pembohong?

Kekaguman Abunawas terhadap Si Polan masih ada. Abunawas tidak rela kalau kekagumannya itu luntur dan hilang, hanya karena Si Polan divonis penjara.

Dulu.....
Aku.....
Mengagumimu

Dulu.....
Aku.....
Menyayangimu

Dulu.....
Aku.....
Mencintaimu

Aku ingin
Tetap....
Mengagumimu

Aku ingin
Tetap....
Menyayangimu

Aku ingin
Tetap....
Mencintaimu

Abunawas merasa puisinya sudah cukup, tetapi judulnya belum ada. Ia penasaran dan juga ada rasa kesal. Maka dengan mantap ia memilih judul: "Jawablah Polan!"

Makassar, 16 September 2007

copyright@pedoman rakyat
makassar, 17 september 2007

Jumat, 14 September 2007

Perpustakaan UNM Bukan untuk Umum


BUKAN UNTUK UMUM. Perpustakaan Universitas Negeri Makassar (UNM) ternyata bukan untuk masyarakat umum. Perpustakaan yang buku-bukunya sebagian besar buku tua itu, hanya diperuntukkan bagi anggotanya. Di pintu masuk ruangan lantai satu tertulis "Info: Yang Tidak Punya Kartu Perpustakaan Tidak Bisa Masuk." (Foto: Asnawin)

Senin, 10 September 2007

Kumis, Janggut, dan Tahi Lalat


Oleh : Asnawin
email : asnawin@hotmail.com

Ada tiga negeri bertetangga yang saling membenci satu sama lain. Negeri pertama bernama Negeri Kumis, negeri kedua bernama Negeri Janggut, dan negeri ketiga bernama Negeri Tahi Lalat.
Di Negeri Kumis, hampir semua laki-laki memiliki kumis dengan bermacam-macam model. Ada yang berkumis tipis, ada yang berkumis sedang, ada yang berkumis tebal, ada yang berkumis panjang, ada yang kumisnya panjang diplintir, dan bermacam-macam model kumis lainnya.
Penduduk Negeri Kumis sangat membenci janggut. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur janggutnya. Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berjanggut, mereka langsung menganjurkan agar janggut tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Kumis.
Penduduk Negeri Kumis juga membenci tahi lalat, apalagi kalau tahi lalat itu tumbuh di sekitar wajah. Kalau tahi lalat itu muncul di bagian tubuh selain wajah, biasanya dibiarkan saja atau ditutupi dengan sesuatu, tetapi kalau tahi lalat itu tumbuh di wajah, maka tahi lalat itu langsung dicabut melalui operasi yang memang digratiskan di Negeri Kumis.
Kalau ada orang yang "melanggar" kebiasaan itu, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara janggut akan diberi sebutan kambing dan dianggap sok alim, sedangkan laki-laki yang memelihara tahi lalat akan disebut bencong alias banci.
Saking pentingnya kumis untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Kumis, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya kumis dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain wajib hukumnya para laki-laki memelihara kumis, dan melarang semua laki-laki memelihara janggut. Selain itu, juga diusulkan agar semua laki-laki dan perempuan segera mencabut melalui operasi jika ada tahi lalat yang tumbuh, terutama di sekitar wajah.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisurinya punya tahi lalat di sekitar dada dan sang permaisuri memang lebih suka memakai baju dengan dada agak terbuka.

Negeri Janggut

Kondisi serupa juga terjadi di Negeri Janggut. Penduduk di negeri tersebut sangat memuja janggut dan menganggap janggut adalah segalanya. Maka penduduk laki-laki pun berlomba-lomba memelihar janggut sebagus mungkin.
Ada orang yang janggutnya pendek, ada yang janggutnya panjang, ada yang janggutnya dikuncir, serta bermacam-macam model janggut lainnya.
Penduduk Negeri Janggut sangat membenci kumis. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur kumisnya. Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berkumis, mereka langsung menganjurkan agar kumis tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Janggut.
Penduduk Negeri Janggut juga membenci tahi lalat, apalagi kalau tahi lalat itu tumbuh di sekitar wajah. Kalau tahi lalat itu muncul di bagian tubuh selain wajah, biasanya dibiarkan saja saja atau ditutupi dengan sesuatu, tetapi kalau tahi lalat itu tumbuh di wajah, maka tahi lalat itu langsung dicabut melalui operasi yang memang digratiskan di Negeri Janggut.
Kalau ada orang yang "melanggar" kebiasaan itu, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara kumis akan dicap sebagai pemabuk, pengguna ganja, pengguna obat-obat terlarang, dan berbagai macam cap lainnya. Laki-laki yang memelihara tahi lalat akan disebut bencong alias banci.
Saking pentingnya janggut untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Janggut, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya janggut dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain wajib hukumnya para laki-laki memelihara janggut, dan melarang semua laki-laki memelihara kumis.
Selain itu, juga diusulkan agar semua laki-laki dan perempuan segera mencabut melalui operasi jika ada tahi lalat yang tumbuh, terutama di sekitar wajah.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisurinya punya tahi lalat di sekitar telinga, sedangkan salah seorang anak perempuannya punya tahi lalat di bagian leher. Untungnya kedua wanita itu berjilbab, sehingga tahi lalat mereka jarang dilihat orang.

Negeri Tahi Lalat

Negeri Tahi Lalat lain lagi kondisinya. Semua laki-laki di negeri itu tidak ada yang berkumis dan atau berjanggut. Para laki-laki umumnya berwajah "bersih", karena tidak memelihara kumis, tidak punya janggut, dan tidak banyak yang punya tahi lalat di wajah.
Wanita di Negeri Tahi Lalat selalu berdoa agar mereka dikarunia tahi lalat di wajah. Wanita yang hamil hampir setiap hari berdoa, agar anaknya nanti lahir dengan tahi lalat di wajah.
Penduduk Negeri Tahi Lalat sangat membenci kumis dan janggut. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur kumis dan janggutnya.
Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berkumis dan atau berjanggut, mereka langsung menganjurkan agar kumis dan atau janggut tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Tahi Lalat.
Kalau ada orang yang memelihara kumis dan atau janggut, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara kumis akan dicap sebagai pemabuk, pengguna ganja, pengguna obat-obat terlarang, dan berbagai macam cap lainnya.
Orang yang memelihara janggut disebut kambing dan sok alim, sedangkan orang yang memelihara kumis dan janggut dicap sebagai pemabuk yang sok alim.
Saking pentingnya tahi lalat untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Janggut, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya tahi lalat dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain laki-laki maupun perempuan dianggap terhormat kalau punya tahi lalat, serta mendapat berbagai kemudahan.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki tahi lalat apalagi kalau memelihara kumis dan atau janggut, dianggap bukan orang terhormat sehingga tidak pantas diberi tempat terhormat di kerajaan atau pun di tengah masyarakat.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisuri dan putri bungsunya tidak punya tahi lalat. Untunglah putra mahkota punya tahi lalat di lengan kanannya.

Saling Memaafkan

Begitulah. Tiga negeri bertetangga itu saling membenci satu sama lain. Mereka tidak pernah saling mengunjungi, kecuali kalau ada urusan penting.
Batas wilayah negeri mereka dipagari dengan tembok raksasa. Penduduk dari negeri lain harus membayar pajak kalau ingin berkunjung dan hanya boleh masuk melalui pintu gerbang kerajaan.
Anehnya, setiap memasuki bulan Ramadan, raja dari ketiga kerajaan itu saling mengirimi surat yang isinya mengucapkan selamat melaksanakan ibadah puasa. Raja dari ketiga kerajaan itu juga saling mengirimi surat pada setiap hari raya yang isinya mengucapkan selamat Hari Raya dan mohon dimaafkan lahir batin.

Makassar, 8 September 2007

copyright@pedoman rakyat
makassar, 10 September 2007


Selasa, 04 September 2007

Tak Ada yang Salah, Tak Ada yang Benar

Tak Ada yang Salah, Tak Ada yang Benar

Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.om

Agus dan Iwan duduk satu bangku di kelas satu hingga kelas dua SMP di sebuah kabupaten. Meski sebangku dan sepermainan, ada perbedaan di antara dua bocah belasan tahun itu.
Agus agak serius, rajin membaca, dan suka ke masjid. Iwan agak santai, hanya membaca yang disukai, dan jarang ke masjid.
Kalau guru menerangkan pelajaran di kelas, Agus mengikuti dengan seksama, sedangkan Iwan lebih banyak bermain-main. Bukunya pun tak pernah lengkap, baik buku tulis, maupun buku cetak.
Anehnya, Iwan selalu juara kelas dan dengan mudahnya menjawab secara benar jika guru menanyakan sesuatu, sebaliknya Agus tidak pernah juara kelas dan kerap gagap bila menjawab pertanyaan guru.
Di luar sekolah, Agus dan Iwan adalah dua bocah bahagia. Mereka sepermainan meski rumah mereka berjarak kurang lebih satu kilometer. Agus sering bermain dan belajar di rumah Iwan, karena kebetulan Iwan punya kamar sendiri dan orangtuanya cukup berada.
Pada semester genap kelas dua SMP, Iwan dipindahkan ke sekolah di
ibukota provinsi. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berkomunikasi, apalagi bertemu.
Mereka baru bertemu kembali 26 tahun kemudian, saat keduanya berusia 40 tahun.
Agus sudah punya empat anak, sedangkan Iwan punya tiga anak. Agus bekerja pada sebuah perusahaan swasta di ibukota provinsi, sedangkan Iwan sudah empat kali meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja dan kemudian membangun tiga perusahaan yang cukup sukses di ibukota negara.
Agus hanya berijazah sarjana, sedangkan Iwan magister lulusan perguruan tinggi ternama di luar negeri.
Keduanya bertemu di sebuah warung kopi. Setelah berjabat tangan dan berpelukan, mereka pun larut dalam obrolan yang dipenuhi suasana reuni.

Pilihan-pilihan

Sekitar pukul 14.00 waktu setempat, Iwan mengajak Agus makan siang di sebuah plasa. Mereka tak pernah berhenti ngobrol, mulai dari masa-masa mereka bersama-sama di kampung, masalah pekerjaan, masalah keluarga, pemilihan kepala daerah (Pilkada), hingga prinsip hidup.
''Dalam hidup ini, tidak ada yang salah, dan tidak ada yang benar,'' kata Iwan.
Yang penting, kata Iwan, apapun yang kita lakukan, harus disadari konsekuensinya.
Ketika seseorang memilih suatu bidang pekerjaan atau suatu profesi dan sukses dalam melakoni pekerjaan atau profesinya, maka orang itu tidak boleh mengatakan pilihannya itulah yang paling benar, sedangkan orang lain yang tidak sukses dalam pekerjaan atau profesi lain, dianggap salah.
Begitu juga kalau seseorang masuk dalam salah satu organisasi, maka ia tidak boleh mengatakan diri dan organisasinyalah yang benar, sedangkan orang lain dan organisasi lain salah.
''Agama juga sebenarnya tidak mengajarkan benar dan salah, tetapi Tuhan memberikan kepada kita pilihan-pilihan,'' ujar Iwan.
Dalam menentukan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan dipilih pada Pilkada, siapa pun berhak memilih pasangan manapun. Tidak boleh ada yang mengatakan bahwa pilihannya yang benar, sedangkan pilihan orang lain salah.
''Yang penting, kita harus tahu siapa yang akan dipilih dan bertanggungjawab sesudahnya,'' kata Iwan.
Sebelum menentukan pilihan, seseorang harus mengenal para cagub dan cawagub, sehingga bisa menanggung risiko atau konsekuensi terhadap apapun yang akan terjadi setelah gubernur dan wagub pilihannya kelak menjalankan pemerintahan.
''Tetapi bagaimana caranya bertanggungjawab, kalau kemudian gubernur dan wagub pilihan kita ternyata tidak becus dalam menjalankan pemerintahan?'' tanya Agus.
''Jangan pilih lagi pada Pilkada berikutnya,'' jawab Iwan.

Makassar, 2 September 2007

copyright@pedomanrakyat
Senin, 3 September 2007


Rabu, 29 Agustus 2007

Pesta Rakyat dan Pesta Penguasa

Pesta Rakyat dan Penguasa Oleh : Asnawin email : asnawin@hotmail.com Negeri Khatulistiwa tengah diliputi suasana peringatan kemerdekaan. Banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh kerajaan, oleh berbagai lembaga, oleh berbagai organisasi, dan oleh rakyat. ''Saya merasa senang karena masih bisa menyaksikan berbagai kegiatan dalam rangka peringatan proklamasi,'' kata Daeng Tompo, pria berusia 70 tahun lebih, kepada rekannya Daeng Ngawing, yang usianya tidak jauh beda dengannya. Mereka berdua masih bocah berusia sekitar sepuluh tahun, ketika Negeri Khatulistiwa memerdekaan diri dari penjajahan Negeri Kincir Angin. Daeng Tompo senang karena berbagai lomba telah dan sedang dilaksanakan di kelurahannya. Daeng Tompo yang masih dipercaya menjabat Ketua RW, gembira karena di kelurahannya ada lomba mendongeng, lomba senam poco-poco, lomba pidato, lomba karaoke, lomba joget, lomba panjat pinang, pertandingan sepakbola yang pemainnya semua laki-laki tetapi memakai daster, pertandingan domino, dan macam-macam lomba, serta pertandingan lainnya. Penyerahan hadiah kepada para pemenang akan dilakukan pada acara puncak yang diberi nama Pesta Rakyat Tingkat Kelurahan. Pesta Rakyat dijadikan puncak pesta peringatan kemerdekaan, sehingga suasananya dibuat semeriah mungkin. Panggung Pesta Rakyat diramaikan oleh spanduk, umbul-umbul, baliho, serta berbagai pernak-pernik untuk menampakkan kemeriahan. Rakyat yang tidak memiliki kesibukan atau bisa meluangkan waktu di tengah berbagai kesibukannya, banyak yang berupaya terlibat dalam pelaksanaan rangkaian Pesta Rakyat itu. "Dulu, kita juga turut gembira mendengarkan pekikan merdeka dan melompat-lompat kegirangan," kata Daeng Ngawing sambil mengepulkan asap rokoknya. "Padahal, kita tidak tahu mengapa kita turut gembira ketika itu, ha...ha...ha...," ujar Daeng Tompo seraya mengulurkan tangan kanannya mengambil cangkir berisi kopi hangat. "Ya, yang penting turut bergembira, padahal tidak ada lomba. Kita juga bukan juara lomba, dan tidak ada panjat pinang, apalagi pesta rakyat," kata Daeng Ngawing yang penjual kain di pasar. "Yang penting kita gembira, ha..ha..ha....," kata Daeng Tompo seusai menyeruput kopinya. "Mungkin anak-anak sekarang juga seperti kita dulu. Mereka gembira tetapi tidak tahu mengapa gembira. Mereka tidak tahu makna di balik kegembiraan itu, makna di balik peringatan kemerdekaan," kata Daeng Ngawing tersenyum. Pesta Penguasa Daeng Tompo yang purnawirawan tentara berpangkat Letnan, tiba-tiba sedih. Air matanya meleleh. Dia sedih dan merasa berdosa, karena anak-anak dan generasi muda sekarang banyak yang larut dalam kegembiraan, tetapi tidak tahu makna di balik peringatan kemerdekaan itu. Daeng Tompo merasa berdosa karena gagal menyampaikan pesan-pesan dan semangat perjuangan kemerdekaan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Daeng Tompo juga sedih, karena Pesta Rakyat tahun ini dimanfaatkan oleh penguasa untuk mencari popularitas. Sejumlah oknum penguasa telah memanfaatkan Pesta Rakyat untuk berkampanye, karena mereka masih ingin kembali terpilih sebagai penguasa. "Pesta Rakyat tahun ini sebenarnya juga sudah menjadi Pesta Penguasa. Penguasa atau oknum penguasa turut berpesta untuk mencari popularitas demi kepentingan pribadi," ungkap Daeng Tompo sambil menyeka air matanya. "Apa boleh buat, daeng. Inilah kondisi negara kita sekarang ini," kata Daeng Ngawing yang juga tak bisa menahan air matanya mengalir di pipi. Makassar, 26 Agustus 2007 copyright@pedomanrakyat Senin, 27 Agustus 2007

Senin, 20 Agustus 2007

Proklamasi dan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Proklamasi dan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.com

Udding, bocah berusia 7 tahun, asyik bermain-main bersama beberapa temannya sesama bocah laki-laki di permandian Limbua', Hila-hila, Kecamatan Bontotiro, Bulukumba.
Mereka sangat ceria. Mereka mandi di permandian itu untuk mempersiapkan diri ke masjid melaksanakan salat Jumat.
Pada saat bersamaan di Jakarta, sejumlah pemuda sedang mengawal Soekarno dan Mohammad Hatta, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
Mereka semua tegang. Mereka tengah mempersiapkan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Udding dan kawan-kawan sedang bersiap-siap ke masjid, ketika Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI. Uddin dan kawan-kawan sama sekali tidak tahu bahwa pada hari itu negaranya sudah merdeka.
Udding memang belum sekolah ketika itu. Ia baru dimasukkan ke Sekolah Rakyat (SR), pada usia delapan tahun atau setahun setelah Indonesia merdeka.
Ayah dan ibunya, Gudang Daeng Bone dan Dekka Daeng Pute' (keduanya sudah meninggal), mendaftarkan Udding di SR Bulukumba dengan nama lengkap Aminuddin G.
Enam tahun kemudian, Udding tamat SR dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Bawah (SGB) di pusat kota Bulukumba. Tamat pada 1957, Udding langsung terangkat menjadi guru Sekolah Dasar (SD) pada 1 Agustus.
Sejak itulah, ia mengabdikan dirinya sebagai guru. Tetapi profesi guru ketika itu masih cukup dihormati.
Mereka dipanggil dengan sebutan 'Tuan Guru'. Mereka selalu diundang hadir kalau ada acara keagamaan, pesta perkawinan, dan acara adat. Mereka sering dimintai pertimbangan kalau ada masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Gaji mereka memang tidak besar, tetapi Udding yang kemudian lebih akrab disapa Tuan Guru Aminuddin, bersama beberapa rekannya sudah bisa membeli sepeda dengan cara menyicil. Ia memperoleh pendapatan tambahan dengan cara membantu ayahnya menjadi tukang jahit.
Profesi tukang jahit waktu itu juga masih cukup dihormati, karena pendapatannya cukup lumayan.
Tuan Guru Aminuddin menikah dengan perempuan bernama Sitti Hasnah Bali yang pegawai negeri sipil di Kantor Pekerjaan Umum Provinsi Cabang Bulukumba.
Hingga tahun 1975, Tuan Guru Aminuddin masih memakai sepeda ke sekolah. Ia baru membeli sepeda motor pada sekitar tahun 1976 atau satu tahun sebelum terangkat menjadi kepala sekolah.

41 Tahun Mengabdi

Ironisnya, hingga pensiun pada 1998, Tuan Guru Aminuddin yang kemudian lebih akrab disapa Pak Aminuddin (sebutan "tuan guru" perlahan-lahan hilang seiring perubahan dan perkembangan zaman), sama sekali tidak pernah mendapatkan penghargaan atau tanda jasa.
Pengabdiannya sebagai guru selama 41 tahun, benar-benar tanpa tanda jasa. Dialah guru yang benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa.
Meskipun demikian, Pak Aminuddin sama sekali tidak menyesali apalagi berniat menggugat pemerintah, karena dirinya memang enggan mengurus segala macam tetek-bengek persyaratan untuk mendapatkan penghargaan atau tanda jasa, apalagi kalau harus mengeluarkan uang pelicin.
Baginya, kalau pemerintah memang menilai dirinya atau siapa saja guru yang telah memenuhi syarat untuk diberi penghargaan, maka tidak perlu banyak persyaratan dan tetek-bengek yang harus dilalui untuk menerima penghargaan itu.
Di usianya kini yang sudah menginjak 69 tahun, Pak Haji Aminuddin malah selalu ceria. Ia senang karena banyak muridnya yang sudah berhasil.
Pak Haji Aminuddin ceria karena 11 anaknya (anaknya sebenarnya 12 orang, tetapi seorang anak perempuannya meninggal pada usia 7 tahun), tak ada satu pun yang hidup menderita. Ia begitu gembira kalau 19 cucunya datang silih berganti atau berkumpul semua di rumahnya.
Pak Haji Aminuddin juga turut bergembira dan bangga menyaksikan lewat layar televisi, pemberian penghargaan dan tanda jasa kepada ratusan guru pada upacara peringatan HUT ke-62 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 17 Agustus 2007.

Makassar, 17 Agustus 2007

copryright@Pedoman Rakyat
Makassar, 20 Agustus 2007



Mengenang Detik-detik Proklamasi (3-habis)


Pagi harinya, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani, dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 WIB dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno, dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, Wakil Walikota Jakarta saat itu, dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Mengenang Detik-detik Proklamasi (2)


RUMAH PERSINGGAHAN. Inilah rumah persinggahan Soekarno (bersama isterinya, Fatmawati, dan anaknya Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, saat “diculik” kaum muda, sehari menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI. Rumah milik warga Karawang, Djiauw Kie Song, terletak di Jalan Sejarah, Dusun Kalijaya I Desa Rengasdengklok Utara, Karawang, Jawa Barat. (int)

Mengenang Detik-detik Proklamasi (1):


PROKLAMASI. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, atau 17 Ramadan 1365 Tahun Hijriah. Naskah proklamasi dibacakan oleh Ir Soekarno, didampingi oleh Drs Muhammad Hatta, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.


Bawalah Selalu "Buku Pintar"

Bawalah Selalu "Buku Pintar"

Makassar, (PR).
Novelis Naning Pranoto menganjurkan kepada para penulis cerpen pemula agar selalu membawa "buku pintar" (buku tulis, red) dan mencatat setiap ada ide yang muncul, serta tanggal munculnya ide tersebut.

Mantan wartawan yang kini mengajar di beberapa perguruan tinggi itu, juga menganjurkan agar para penulis cerpen pemula banyak membaca, banyak bergaul, menulis dengan disiplin, menyediakan alat tulis yang memadai, menyiapkan ruang (tempat dan waktu), serta berambisi membuat karya.

Anjuran tersebut dikemukakan menjawab pertanyaan salah seorang peserta Pelatihan Penulisan Kreatif untuk Cerita Pendek Tingkat Nasional, di Gedung Bakti Jl. Dr. Soetomo, Makassar, Senin (20/8).

Naning tampil bersama budayawan Sides Sudyarto DS, pada pelatihan yang diadakan Taman Sastra Makassar dan diikuti 50 peserta dari unsur pelajar, mahasiswa, guru, dosen, wartawan, seniman, Balai Bahasa, dan masyarakat umum.

''Kita juga harus menulis dengan disiplin. Artinya, luangkanlah waktu khusus untuk menulis. Saya kreatif dan produktif menulis pada jam 3 sampai jam 10 pagi. Kalau saya menulis, tidak ada urusan dengan dunia luar. Saya bisa mengurung diri di kamar lima hari berturut-turut, kalau sedang menulis,'' tutur Naning yang salah satu novelnya berjudul "Wajah Sebuah Vagina" kini sudah terjual sekitar 50.000 eksamplar.

Untuk menjaga semangat menulis, Naning menganjurkan agar penulis pemula mengubah gayanya, meminta saran dan kritikan, serta membedah atau mendiskusikan tulisannya dengan orang lain, sedangkan Sides Sudyarto menganjurkan agar menjadikan menulis sebagai alat jihad.

''Berjihadlah lewat tulisan. Jadikan tulisan sebagai alat perjuangan untuk melawan penindasan, serta untuk membela kaum marjinal dan orang-orang yang terhinakan,'' katanya.

Ketua Panitia, Dra Anil Hukma, kepada peserta menjelaskan bahwa kehadiran Naning Pranoto dan Sides Sudyarto yang disponsori Rohto (obat tetes mata) sekaligus untuk melakukan sosialisasi Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) 2007 yang dilaksanakan Raya Kultura.

Di akhir pelatihan, pembicara dan pihak sponsor memberikan hadiah buku kepada peserta yang proaktif mengajukan pertanyaan. Wartawan "PR", Asnawin, selain mendapat buku dari Naning Pranoto, juga mendapat hadiah khusus berupa cendera mata dari Rohto selaku sponsor acara, karena pertanyaannya dinilai paling berbobot. ***

Rabu, 15 Agustus 2007

Ironi Mengejar Kekuasaan

Asnawin Ironi Mengejar Kekuasaan

Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.om

Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada sebuah negeri yang penduduknya sangat religius. Raja dan rakyatnya menerapkan hidup sederhana. Meskipun hidup sederhana, Raja sangat berwibawa dan dihormati. Rakyat begitu bangga kepada rajanya.
Sebaliknya, Sang Raja pun sangat sayang rakyatnya. Raja sering terang-terangan berkunjung dan bergaul dengan rakyat, tetapi pada saat lain, ia menyamar lalu berkunjung dan bergaul dengan rakyatnya.
Sebagai raja, ia tak lupa membangun sekolah dan rumah sakit. Ia juga membangun gudang gandum.
Dengan adanya sekolah, semua rakyat menjadi pintar membaca dan menulis.
Dengan adanya rumah sakit, rakyat yang sakit bisa diobati secara gratis, bahkan rakyat miskin disantuni, baik selama dirawat di rumah sakit, maupun selama masa penyembuhan.
Dengan adanya gudang gandum, rakyat yang kesusahan di masa paceklik, bisa mendapatkan bantuan dari raja.
Suatu hari raja sakit dan tak lama kemudian mangkat. Rakyat pun berduka.
Empat puluh hari berselang, para menteri dan hulubalang sibuk membicarakan pengganti raja. Kebetulan negeri itu tidak mengenal istilah pewaris tahta, karena raja dipilih oleh rakyat berdasarkan usulan para menteri dan hulubalang.
Para menteri dan hulubalang mendatangi Penasehat Raja untuk diminta menjadi raja, tetapi Sang Penasehat tidak bersedia.
''Saya takut tidak bisa memikul amanah yang berat,'' katanya.
Para menteri dan hulubalang kemudian mendatangi Patih Kerajaan untuk diminta menjadi raja, tetapi sang patih juga menolak.
''Saya khawatir tidak bisa menjadi raja yang baik,'' jawabnya.
Karena dua sesepuh kerajaan tidak bersedia, para menteri dan hulubalang pun kembali bersidang. Mereka saling mendorong untuk bersedia menjadi raja dan yang lain siap mendukung, tetapi tak satu pun di antara para menteri dan hulubalang yang bersedia.
Sidang pun ''dead lock'' dan diputuskan untuk dilanjutkan keesokan harinya, tetapi lagi-lagi tidak ada di antara para menteri dan hulubalang yang bersedia menjadi raja.
Akhirnya, para menteri dan hulubalang mengadakan sayembara untuk mencari raja baru. Anehnya, hingga batas akhir waktu pendaftaran sayembara ditutup, tak satu pun yang datang mendaftarkan diri untuk mengikuti pemilihan raja baru.

Calon Independen

Di negeri tetangga, peristiwa yang sama sedang terjadi. Raja jatuh sakit dan berhalangan tetap. Meskipun raja berkuasa seumur hidup, tetapi para menteri dan hulubalang tetap bersikukuh ingin mencari raja baru. Alasannya, roda pemerintahan kerajaan tidak jalan kalau raja tidak bisa menjalankan tugas.
Mereka pun mengadakan sidang untuk membahas pengganti raja. Mula-mula mereka mendatangi Penasehat Raja untuk dimintai pendapatnya, tetapi Sang Penasehat malah mengajukan diri menjadi raja, karena merasa sudah mengetahui seluk-beluk masalah kerajaan.
Setelah itu, para menteri dan hulubalang mendatangi Patih Kerajaan, tetapi belum dimintai kesediaannya, Sang Patih malah sudah lebih dahulu menyatakan kesediaannya.
''Saya tahu kalian datang untuk meminta saya menjadi raja. Ketahuilah, sebenarnya saya sudah lama mempersiapkan diri,'' katanya sambil mengusap-usap janggutnya.
Para menteri dan hulubalang kembali bersidang untuk memutuskan siapa yang akan dipilih menjadi raja. Ternyata mereka terbagi tiga kelompok. Ada yang mendukung Penasehat Raja, ada yang mendukung Patih Kerajaan, tetapi ada pula yang mengajukan calon alternatif.
''Saya juga bersedia dan sudah siap menjadi raja,'' kata salah seorang menteri.
Karena ada tiga calon yang bersedia menjadi raja dan kebetulan ketiganya memenuhi syarat, sidang pun memutuskan akan mengadakan sayembara dengan beberapa persyaratan.
Akhirnya, para menteri dan hulubalang mengadakan sayembara untuk mencari raja baru. Ternyata bukan hanya Penasehat Raja, Patih Kerajaan, dan salah seorang menteri yang mengikuti seyembara, melainkan juga ada dua kandidat lainnya.
Kedua kandidat tersebut menamakan diri calon independen dan mengaku mendapat dukungan luas dari rakyat, padahal sebenarnya mereka tidak memenuhi syarat.
Makassar, 12 Agustus 2007

(dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 13 Agustus 2007,
Halaman 17/Humaniora)

Sejarah Kota Makassar (7-habis)


VOC (Belanda) yang datang belakangan, ingin menaklukkan wilayah-wilayah di nusantara, termasuk pelabuhan Makassar, tetapi Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa tidak memberi peluang. Sultan Hasanuddin membuka peluang yang sangat luas bagi para pedagang untuk melakukan aktivis dagang tanpa mempersoalkan asal kebangsaannya, termasuk VOC, tetapi VOC ingin lebih dari itu yakni ingin menguasai jalur-jalur perdagangan di wilayah timur. (int)

Sejarah Kota Makassar (6):



SYECH YUSUF. Pesan-pesan terselubung Syech Yusuf kepada Raja Banten dan Raja Makassar (Gowa) akhirnya tercium oleh Kompeni di Batavia. Pemerintah Kompeni terkejut atas terjadinya pemberontakan rakyat Banten, pemberontakan Haji Miskin di Sumatera Barat, dan pemberontakan Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa yang ke-19) yang menggugat perjajian Bungaya dan menginginkan agar Fort Rotterdam dikembalikan kepada Kerajaan Gowa. (foto: wikipedia.org)

Sejarah Kota Makassar (5):


Tidak diragukan lagi, nama Makassar menjadi buar bibir dan harum di beberapa negara karena perjuangan, kebesaran, dan ketokohan Syech Yusuf.
Syech Yusuf adalah putra asli suku bangsa Makassar. Ia adalah anak dari Raja Gowa ke-14, Sultan Alauddin (memerintah pada 1593-1639) dari isterinya Sitti Aminah (bukan permaisuri). Syech Yusuf lahir pada 1626, ketika ayahnya giat melakukan Islamisasi ke dalam masyarakat Sulawesi Selatan.

Senin, 13 Agustus 2007

Sejarah Kota Makassar (4):



''Untuk tidak mengecewakan, maka kota pelabuhan Makassar diberi hadiah sebagai pintu gerbang, tempat berlalunya kegiatan perdagangan maritim ke kawasan timur Indonesia maupun ke negara asing lainnya. Predikat itu juga berkenan dengan pemberian status kotamadya (staatsgemeente) pada April 1906, bersama empat kota lainnya, yakni Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan,'' ungkap Edward L Poelinggomang. (int)

Sejarah Kota Makassar (3):


BENTENG SOMBA OPU. Dengan dasar itulah, Speelman menulis surat kepada Gubernur VOC di Batavia yang melaporkan bahwa pihak penguasa Kerajaan Makassar belum bersedia menerima sepenuhnya butir-butir perjanjian dan tetap menunjukkan sikap permusuhan.

Perang pun tak terhindarkan lagi antara tahun 1668 hingga 1669, tetapi perang dimenangkan oleh kompeni yang kemudian membumihanguskan Benteng Sombaopu.

Kamis, 09 Agustus 2007

Sejarah Kota Makassar (2):


BENTENG UJUNGPANDANG. Untuk melindungi kegiatan perdagangan di kota pelabuhan itu, pemerintah Kerajaan Makassar membangun sejumlah benteng pertahanan sepanjang pesisir dari yang paling utara Benteng Tallo hingga yang paling selatan Benteng Barombong. Selain benteng, sepanjang wilayah pesisir kota juga dibangun tembok yang di depannya berjejer perahu dan kapal dagang dari berbagai kerajaan di Asia Tenggara, China, dan dari Eropa. (Foto: Asnawin)

Sejarah Kota Makassar (1): Nama Makassar Sudah Ada Sejak 1364


BALAIKOTA MAKASSAR. Makassar adalah nama tempat bandar niaga kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Kerajaan kembar itulah yang kemudian menyandang nama Kerajaan Makassar. Nama Makassar sudah disebut dalam naskah kuno Jawa, Negara Kertagama, yang ditulis oleh Prapanca, pada 1364. Naskah itu juga menyebut nama Luwu, Bantaeng, dan Selayar. (int)