Jumat, 23 Januari 2009

BEM STIBA Rangkul Pelajar



Syahrullah Hamid

BEM STIBA Rangkul Pelajar

Perguruan tinggi tidak boleh menjadi menara gading yang menjulang tinggi ke angkasa tetapi sulit dijangkau dan tidak bersentuhan dengan masyarakat sekitarnya.
Sebaliknya, perguruan tinggi harus melakukan ”sambung rasa” dengan masyarakat sekitarnya dengan mengadakan berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat di sekitar kampus atau masyarakat di daerah kampus tersebut berdiri.
Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan antara lain mengadakan seminar yang pesertanya masyarakat umum, termasuk pelajar.
Dengan dasar pertimbangan itulah, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar menggelar seminar ”Islam Penyejuk Iman, Remaja Islam Abad XXI”, di Masjid Baiturrahman Jl. Urip Sumoharjo, Panaikang, Makassar, beberapa waktu lalu.
”Kami sengaja mengundang pelajar sebagai peserta, karena kami ingin merangkul pelajar. Kami ingin pelajar merasa dekat dengan mahasiswa dan mengenal dunia kampus,” jelas Ketua Panitia, Syahrullah Hamid, kepada DEMO’s.
Dia menjelaskan, seminar diikuti seratusan peserta yang terdiri atas pelajar SLTA (SMA, SMK, MA) se-Kota Makassar.
Seminar bertujuan memberikan pemahaman agama Islam terhadap remaja muslim, khususnya tentang loyalitas terhadap agama Islam dan pandangan kritis terhadap agama selain Islam.
Dalam seminar tersebut, panitia menampilkan dua pemateri, yaitu Sayyid Tasdiq Thalib (Loyalitas dan Anloyalitas dalam Islam) dan Aan Chandra Thalib (Pandangan Kritis 25 Desember).
Sayyid Tasdiq Thalib mengemukakan makna peringatan Hari-hari Besar Islam dan menyebutkan hari-hari besar agama selain Islam, serta mengingatkan kepada peserta akan pentingnya loyalitas kepada agama Islam.
Sementara Aan Chandra Thalib antara lain mengingatkan rambu-rambu dalam Islam yang berkaitan dengan agama lain, yaitu ayat yang mengatakan ”Tidak ada paksaan dalam agama”, serta ”Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (asnawin)

Benarkah PLN Selalu Rugi?



Benarkah PLN Selalu Rugi?

Oleh: Asnawin
(Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel)


Setiap perusahaan pasti memburu keuntungan, tetapi ternyata ada perusahaan yang selalu rugi, sehingga terpaksa mendapatkan subsidi untuk kelanjutan hidupnya. Perusahaan itu adalah PT. (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN), salah satu Perusahaan Umum Milik Negara (BUMN).
Tetapi benarkah PLN selalu rugi? Apakah pernyataan itu benar adanya atau hanya untuk menarik simpati masyarakat?
Berbagai pertanyaan itu terjawab pada Pelatihan Pengenalan Proses Bisnis Kelistrikan Bagi Para Jurnalis dalam Wilayah Peliputan PT. PLN (Persero) Sulserabar, di Udiklat Makassar, Mawang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 1-2 Februari 2008.
Dari paparan beberapa pembicara dan dialog pada sesi tanya jawab, terungkap bahwa biaya produksi atau biaya yang harus dikeluarkan oleh PT. PLN (Persero) Wilayah Sulselrabar (Sulawesi Selatan, Tenggara, Barat) untuk daerah Sulsel kurang lebih Rp 850 / kWh, tetapi harga yang dibayar oleh masyarakat hanya Rp 589,8 / kWh. Artinya PLN harus nombok Rp 260,2 / kWh.
Kalau masyarakat Sulsel menggunakan listrik jutaan kWh, maka kerugian PT. PLN (Persero) Wilayah Sulselrabar pasti sangat besar perbulannya.
Kerugian lebih besar dialami di daerah terpencil seperti Bau-bau dan Kendari. Biaya yang dikeluarkan oleh PLN di Bau-bau sebesar Rp 2.402,2 / kWh, sedangkan harga yang dibayar oleh masyarakat hanya Rp 596 / kWh, sedangkan di Kendari biaya yang dikeluarkan oleh PLN Rp 2.269,2 / kWh, tetapi harga yang dibayar oleh masyarakat hanya 568 / kWh.
Lalu mengapa PLN tidak menaikkan tarif listrik agar biaya operasional dan biaya yang harus dikeluarkan dapat tertutupi? Terhadap pertanyaan itu, Manager Niaga PT. PLN (Persero) Sulselrabar, Irwan Zaenal Nasution, mengemukakan dua alasan.
Pertama, tarif listrik ditentukan oleh Presiden, sedangkan alasan kedua yaitu masyarakat pasti “berteriak” kalau tarif listrik dinaikkan, karena tarif listrik yang ditetapkan sekarang saja sudah sering mengundang reaksi masyarakat, antara lain dalam bentuk aksi unjukrasa, apalagi kalau tarif tersebut dinaikkan.
Bagaimana solusinya untuk meminimalkan kerugian PLN? Untuk menutupi biaya tersebut, PLN menempuh kebijakan membedakan tarif listrik bagi masyarakat umum, dengan industrik dan bisnis.
Selain itu, PLN senantiasa mengimbau masyarakat membudayakan budaya hemat listrik, lewat berbagai program, termasuk dengan mengadakan pelatihan pengenalan sistem ketenagalistrikan bagi para insan pers.
Kebijakan membedakan tarif listrik bagi masyarakat umum dengan bisnis dan industri itu tentu saja belum menutupi biaya yang harus dikeluarkan PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik, sehingga pemerintah harus memberikan subsidi.
PLN membutuhkan dana sebesar Rp 6,9 triliun setiap tahunnya, tetapi yang siap hanya Rp 29 triliun, sehingga sisanya disubsidi oleh pemerintah.
Pertumbuhan pelanggan setiap tahunnya mencapai 11 persen per tahun secara nasional, sedangkan pertumbuhan pelanggan di Sulsel diperkirakan 8-9 persen per tahun.
Pertumbuhan pelanggan atau kebutuhan tersebut ternyata tidak diiringi dengan pertambahan fasilitas yang memadai, sehingga PLN terpaksa menyewa listrik dari swasta dan terpaksa melakukan pemadaman bergilir jika kebutuhan pelanggan melebihi kapasitas daya yang ada.

Agenda Besar PLN

General Manager PT. PLN (Persero) Sulselrabar, Arifuddin Nurdin dalam makalahnya mengemukakan empat agenda besar PLN, yakni membudayakan hemat listrik (mendukung Inpres No. 10 Tahun 2005), mensukseskan Visi 75-100 (tekad PLN untuk melistriki Nusantara dengan pencapaian rasio elektrifikasi 100% dan akses terbuka penyambungan listrik sebelum HUT ke-75 kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2020), menekan losses, termasuk pencurian listrik, serta meningkatkan pemahaman stakeholders.
Selain mengimbau masyarakat agar hemat listrik (mengurangi pemakaian listrik terutama pada saat beban puncak di malam hari), PLN juga meminta masyarakat agar tidak melakukan pencurian listrik atau melakukan pencatolan aliran listrik secara tidak sah.
Masyarakat atau pihak yang kedapatan melakukan hal tersebut akan dikenakan pidana penjara selama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Pidana tersebut tertuang dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1985.
Apapun alasannya, masyarakat diminta menghindari dan menjauhkan kebiasaan mencantol aliran listrik dari jaringan listrik atau pun rumah, bermain layangan dekat jaringan listrik, boros dalam pemakaian listrik, mengutak-atik atau merusak KWH Meter, serta menyambung listrik secara tidak resmi.
Permintaan tersebut wajar karena kebiasaan hanya akan membuat hidup tidak nyaman, bisa menimbulkan bahaya, serta merugikan banyak orang.

Bertransaksilah di Kantor PLN

Banyak keluhan masyarakat tentang mahalnya biaya pemasangan listrik dan penambahan daya listrik, tetapi itu terjadi karena masyarakat tidak menempuh prosedur yang seharusnya.
Sebaliknya, sebagian masyarakat terpaksa menggunakan jasa pihak ketiga (instalatir yang terdaftar maupun instalatir liar alias tidak terdaftar) dan melakukan transaksi di luar kantor PLN, karena mereka ingin mendapatkan pelayanan yang cepat.
Akibatnya, selain biayanya menjadi tinggi karena instalatir meminta jasa pelayanan tambahan, masyarakat juga kerap menjadi korban karena pelayanan cepat yang diharapkan ternyata juga tidak terpenuhi dan tidak sedikit aliran listrik masyarakat yang tidak terdaftar di PLN alias tidak resmi (illegal).
Untuk menghindari hal tersebut, PLN mengimbau masyarakat agar tidak melakukan transaksi apapun di luar kantor PLN.
“Jangan melakukan transaksi apapun di luar kantor PLN,” demikian selalu diingatkan pegawai PLN.
Dijelaskan bahwa prosedur Pasang Baru (PB) dan Penambahan Daya (PD) diawali dengan kedatangan langsung (bisa juga diwakili dengan memberikan surat kuasa) calon pelanggan atau masyarakat selaku konsumen listrik ke kantor PLN terdekat.
Selanjutnya mengisi formulir Pendaftaran Permintaan PB / PD (TUL 1-01) yang diberikan oleh pegawai di kantor PLN. Setelah itu, formulir dikembalikan disertai penyerahan fotocopy KTP/Surat Kuasa, sketsa lokasi rumah, serta fotocopy rekening tetangga terdekat.
Pihak PLN kemudian melakukan survey kelayakan (data teknis, kuota, dll) lalu membuat Surat Jawaban (disetujui atau tidak disetujui). Jika belum disetujui, maka calon pelanggan bersangkutan masuk dalam daftar tunggu, sedangkan jika disetujui maka calon pelanggan disarankan menghubungi Instalatir Terdaftar (anggota AKLI).
Tetapi masyarakat diingatkan bahwa instalatir itu bukan PLN. Mereka adalah pihak ketiga yang bermitra dengan PLN, tetapi bukan bagian dari PLN.
Calon konsumen bisa juga datang langsung atau kembali ke kantor PLN dengan menyerahkan Surat Jaminan Instalasi lalu membayar BP-UJL (Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Langganan). Setelah itu pihak PLN datang memasang aliran listrik di rumah pelanggan.

Penyambungan Baru

Adapun biaya pemasangan baru listrik dengan daya 900 VA (900 watt) yang resmi hanya Rp 360.900, terdiri atas Biaya Penyambungan Rp 270.000 (900 X Rp 300) dan Uang Jaminan Langganan sebesar Rp 90.900 (900 X Rp 101).
Biaya pemasangan baru listrik dengan daya 1.300 VA yang resmi hanya Rp 527.300, dengan rincian BP Rp 390.000 (1.300 X Rp 300), UJL Rp 131.300 (1.300 X Rp 101), dan materai Rp 6.000.
Sementara biaya penyambungan baru listrik dengan daya 2.200 VA yang resmi hanya Rp 888.200, terdiri atas BP Rp. 660.000 (2.200 X Rp 300), UJL Rp 222.200 (2.200 X Rp 101), dan materai Rp 6.000.
BP-UJL tersebut berlaku secara nasional, sehingga tarif resmi penyambungan baru pada seluruh provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia sama. Tak ada perbedaan antara satu kota dengan kota lain.
Begitupun dengan biaya beban per bulan, yakni Rp 18.000 untuk daya 900 VA, Rp 39.130 untuk daya 1.300 VA, serta Rp. 66.440 untuk daya 2.200 VA.
Tugas utama PLN hanya menjual listrik, tetapi banyak hal yang bisa terjadi di pasar listrik, antara lain pencurian listrik, pemerasan, penipuan, serta pemasangan jaringan tidak resmi.

Kamis, 08 Januari 2009

Dosen Harus Ikut Workshop “PEKERTI”

Dosen Harus Ikut Workshop “PEKERTI”

Kebutuhan akan workshop Program Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) dan Pelatihan Pembuatan Hand Out, Modul, dan Buku Ajar, sangat dirasakan pentingnya bagi dosen dalam proses belajar mengajar di kelas.
Bahkan dosen yang layak mengajar, seharusnya pernah mengikuti workshop PEKERTI dan Pelatihan Pembuatan Hand Out, Modul, dan Buku Ajar.
Hal tersebut dikemukakan Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Rahman Rahim SE MM, kepada DEMO’s, di sela-sela pelaksanaan Wokrshop PEKERTI yang diadakan oleh Unismuh Makassar, di Hotel Delta, Makassar, belum lama ini.
“Dosen seharusnya sudah terampil dan punya Bahan Ajar untuk setiap mata kuliah yang diajarkan satu semester, sehingga mereka tidak lagi mengajar semaunya. Maksudnya, dosen sudah harus punya program mata ajaran minimal 12 kali pertemuan untuk setiap mata kuliah yang diajarkan. Dosen juga harus membuat kontrak kuliah dengan mahasiswa, sehingga perkuliahan terarah dan ada ikatan antara dosen dengan mahasiswa,” tuturnya.
PEKERTI selama beberapa hari di Hotel Delta tersebut, diikuti puluhan dosen Universitas Muhammadiyah Makassar, serta beberapa dosen dari perguruan tinggi lain dan dosen Luar Biasa, mengikuti Workshop
Setelah mengikuti workshop PEKERTI selama beberapa hari, para dosen Unismuh tersebut kemudian mengikuti Pelatihan Pembuatan Hand Out, Modul, dan Buku Ajar, selama dua hari di tempat yang sama.
Rahman Rahim mengatakan, PEKERTI dan Pelatihan Pembuatan Hand Out, Modul, dan Buku Ajar tersebut merupakan bagian dari Rencana dan Strategi (Renstra) Unismuh 2004-2008, Kebijakan Akademik 2005-2010, serta Program Kerja Badan Akreditasi 2008-2009.
“PEKERTI dan Pelatihan Pembuatan Hand Out, Modul, dan Buku Ajar ini adalah dua di antara 12 item kegiatan berbentuk workshop yang akan kami selenggarakan pada periode 2008-2009. Tujuan utamanya meningkatkan mutu dosen,” jelasnya.
Dosen Unismuh yang belum mengikuti workshop PEKERTI berkisar 100 orang. Dengan mengadakan workshop PEKERTI sebanyak dua atau tiga kali, maka seluruh dosen Unismuh diharapkan telah mengikuti program tersebut.
Dekan Fakultas Teknik Unismuh, Ir Rahim Nanda MT, mengaku bersyukur karena telah mengikuti program tersebut dan mengimbau semua dosen agar segera mengikuti workshop PEKERTI.
”Tetapi sebaiknya alat dan sarana yang dibutuhkan dalam pelatihan dilengkapi, sehingga workshop berlangsung efektif,” ujarnya.
Dalam workshop PEKERTI antara lain diberikan materi teknik dan praktek pembuatan Kontrak Perkuliahan, sedangkan dalam Pelatihan Pembuatan Hand Out, Modul, dan Buku Ajar diberikan materi teknik dan praktek pembuatan buku ajar.

Banyak Orang Tiba-tiba Jadi Wartawan



Banyak Orang Tiba-tiba Jadi Wartawan

Euforia era reformasi tampaknya masih terasa hingga kini. Tiba-tiba banyak orang yang merasa mampu dan berhak menjadi apa saja, termasuk menjadi wartawan. Orang yang merasa berhak dan mampu menjadi calon legislator bahkan mencapai ratusan atau bahkan ribuan dalam satu kabupaten atau kota.
Khusus di bidang pers, banyak wartawan dadakan. Banyak orang yang tiba-tiba menjadi wartawan dan memiliki kartu pers, padahal mereka tidak pernah melalui jenjang pendidikan jurnalistik yang memadai dan benar.
Karena tidak memiliki pendidikan yang memadai dan tidak pernah mendapatkan atau mengikuti pendidikan jurnalistik yang memadai dan benar, maka tidaklah mengherankan kalau banyak oknum wartawan yang menyalahgunakan profesinya dan melanggar kode etik wartawan atau Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Demikian dipaparkan Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel, Asnawin, saat membawakan materi pada “Karantina Jurnalistik IV Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) Aspirasi BSID FBS Universitas Negeri Makassar”, di Makassar, pada Kamis, 8 Januari 2008.
Kepada para peserta yang semuanya mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, dia menjelaskan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
“Dewasa ini banyak wartawan yang mengantongi kartu pers dan mengaku wartawan, tetapi mereka tidak melakukan kegiatan jurnalistik. Mereka bahkan tidak tahu apa itu Kode Etik Jurnalistik, karena tidak pernah membaca apalagi mengkaji pasal-pasal di dalamnya,” tutur Asnawin.
Dia mengatakan, wartawan bebas memilih organisasi profesi, baik itu di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) maupun di organisasi kewartawanan lainnya, tetapi mereka harus memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Sebagai orang yang senantiasa bersentuhan dengan publik, lanjutnya, wartawan dalam menjalankan profesinya diikat oleh norma dan aturan-aturan yang berlaku di tengah masyarakat.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dimaksud yaitu KEJ yang telah disepakati bersama oleh 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia, di Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006, dan ditetapkan oleh Dewan Pers pada Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 24 Maret 2006, melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, tentang Kode Etik Jurnalistik.
Asnawin yang juga mengajar mata kuliah jurnalistik di beberapa perguruan tinggi, menjelaskan bahwa etik atau etika berasal dari bahasa Latin, ethica, yang berarti aturan atau kaidah-kaidah moral, tata susila yang mengikat suatu masyarakat atau kelompok masyarakat, atau profesi.
“Etika didasari oleh kejujuran dan integritas perorangan,” katanya.
Etika yang mengikat masyarakat dalam sebuah profesi itulah yang disebut Kode Etik, maka lahirlah berbagai macam Kode Etik, antara lain Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Kedokteran, dan Kode Etik Pengacara.
Di Indonesia, Kode Etik Wartawan tidak hanya merupakan ikatan kewajiban moral bagi anggotanya, melainkan sudah menjadi bagian dari hukum positif, karena Pasal 7 (2) UU Pers dengan tegas mengatakan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
“Jadi kalau ada wartawan yang tidak memiliki dan tidak menaati Kode Etik Jurnalistik, maka dia sebenarnya sudah melanggar Undang-Undang Pers,” tandasnya.
Dalam Karantina Jurnalistik itu, materi Pengetahuan Umum Kejurnalistikan dan Pers Kampus dibawakan oleh Tasman Banto dari Harian Tribun Timur Makassar.
Materi lain yang disajikan pada kegiatan yang berlangsung selama dua hari itu, ialah Jenis-jenis Tulisan Sastra, Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik, Jenis Tulisan dan Perencanaan Peliputan, Teknik Penulisan Featur, Teknik Penulisan Cerpen, Desain dan Tata Letal Media Cetak, Teknik Foto Jurnalistik, dan Jurnalisme Sastra Indonesia.

Kode Etik Jurnalistik (makalah)


Etika berasal dari bahasa Latin, ethica, yang berarti aturan atau kaidah-kaidah moral, tata susila yang mengikat suatu masyarakat atau kelompok masyarakat, atau profesi. Etika didasari oleh kejujuran dan integritas perorangan. Etika yang mengikat masyarakat dalam sebuah profesi itulah yang disebut Kode Etik, maka lahirlah berbagai macam Kode Etik, antara lain Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Kedokteran, dan Kode Etik Pengacara. (dok. pribadi)