Senin, 31 Desember 2007

Tantangan Bagi Anggota KPU yang Baru



Tantangan Bagi Anggota KPU yang Baru

Oleh : Asnawin


Seorang pelari marathon, pasti belum lelah atau bosankalau baru berlari sejauh 20 kilometer. Sebaliknya, seorang pelari jarak pendek, pasti sudah bosan dan atau lelah setelah menempuh jarak lebih dari lima kilometer.
Entah berada pada kelompok mana ke-9 anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat periode 2002-2007. Apakahmereka tergolong pelari jarak jauh, pelari jarak menengah, atau pelari jarak pendek. Yang pasti, hanya tiga orang bertahan hingga garis finish.
Lima tahun lalu, kita menaruh harapan yang tinggi kepada Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin MA, dan kawan-kawan. Betapa tidak, delapan dari sembilan anggota KPU tersebut adalah dosen, yang tergolong "manusia suci", karena mengajarkan ilmu pengetahuan, melakukan penelitian, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat (termasuk kepada bangsa dan negara).
Tiga dari delapan dosen tersebut, bahkan tergolong "bukan dosen biasa", melainkan Guru Besar bergelar profesor. Seorang anggota KPU lainnya, pernah menjadi ketua umum organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) dari organisasi kemahasiswaan Islam.
Tetapi apa yang terjadi kemudian. Harapan tinggal harapan. Dari sembilan anggota KPU Pusat tersebut, hanya tiga yang bertahan hingga kini, sedangkan enam lainnya tersebar ke penjara, ke partai politik, dan ke kursi menteri.
KPU Pusat periode 2002-2007 memang mampu melaksanakan tugas-tugasnya, tetapi citranya menjadi kurang bagus.
Bagaimana dengan tujuh anggota KPU Pusat periode 2007-2012? Apakah mereka semua tergolong pelari jarak jauh? Apakah hanya sebagian yang masuk kategori pelari jarak jauh? Kita lihat saja nanti.
Yang pasti, lima dari tujuh anggota KPU Pusat yang baru, juga berlatar belakang dosen dan dua di antaranya Guru Besar (profesor). Dua lainnya, masing-masing berlatarbelakang profesi wartawan dan birokrat.
Dua anggota KPU baru tersebut sudah punya pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu dan Pilkada, karena mereka mantan anggota KPU provinsi, sedangkan seorang anggota KPU baru lainnya mantan anggota Panwaslu provinsi.
Terlepas dari pengalaman masa lalu dan kualitas ke-7 anggota KPU Pusat yang baru itu, bagaimana pun juga mereka sudah terpilih dari seleksi panjang nan ketat, dan kita mau tidak mau harus menaruh harapan besar kepada mereka.
Seorang ustaz muda dalam ceramah Ramadan di Makassar, mengatakan, kalau kita bercita-cita ingin membaca Alquran (30 juz) sampai tamat selama Ramadan, maka yakinlah itu akan tercapai.
Mengacu kepada pendapat ustaz tersebut, maka kalau ke-7 anggota KPU yang baru memang bercita-cita melaksanakan tugas dan kewajibannya hingga lima tahun ke depan, maka mereka harus yakin mampu melakukannya.

Libido Politik

Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban, serta bertahan selama lima tahun ke depan, ada beberapa peringatan yang perlu diperhatikan.
Pertama, anggota KPU yang baru sedapat mungkin berupaya menjaga kesehatan, terutama dengan berolahraga secara teratur, kesehatan fisik sangat berpengaruh kepada mental dan kinerja.
Kedua, anggota KPU harus mau bekerja keras. Tanpa kerja keras, mereka pasti akan sulit menghadapi berbagai tugas berat. Tugas KPU antara lain, merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilu, serta menerima, meneliti, dan menetapkan partai-partai politik yang berhak sebagai peserta Pemilu.
KPU juga bertugas membentuk PanitiaPemilihan Indonesia (PPI) dan mengoordinasikan kegiatan Pemilu, mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Selanjutnya, KPUmenetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan.
Ketiga, anggota KPU harus berani menghadapi tantangan. Kegagalan atau citra yang kurang bagus dari anggota KPU pusat sebelumnya merupakan tantangan.
Joseph Sugarman mengatakan; "Jika anda mau menerima kegagalan dan belajar darinya, jika anda mau menganggap kegagalan merupakan sebuah karunia yang tersembunyi dan bangkit kembali, maka anda memiliki potensi menggunakan salah satu sumber kekuatan paling hebat untuk meraih kesuksesan."
Senada dengan itu, Roger Van Oech mengatakan; “Ingatlah dua keuntungan yang kita peroleh dari kegagalan. Yang pertama adalah mempelajari apa yang tidak berjalan dengan baik; dan kedua adalah menjadi kesempatan bagi kita untuk mencoba pendekatan baru."
Sementara Confucius mengatakan; “Kejayaan tertinggi bukan karena kita tidak pernah jatuh, melainkan karena kita selalu bangkit lagi ketika gagal."
Tantangan yang akan dihadapi oleh anggota KPU ke depan, boleh jadi ibarat mendaki gunung yang tinggi, boleh jadi ibarat memanjat pohon pinang yang licin, serta boleh jadi ibarat memanjat pohon yang penuh onak dan duri.
Keempat, anggota KPU harus membentuk diri sebagai sebuah tim (team work) dan bekerja sama menghadapi berbagai masalan dan tantangan.
Kalau boleh mengusulkan kepada siapa pun presiden dan wapres terpilih pada 2009 nanti, tolong janganlah menarik salah seorang atau beberapa anggota KPU Pusat menjadi menteri atau pejabat negara.
Sebaliknya, kepada para anggota KPU yang baru, buanglah jauh-jauh libido politik dan tetaplah bercita-cita mengemban amanat sebagai anggota KPU hingga tahun 2012. Jadilah tim yang solid, yang senantiasa saling mengingatkan, yang bertolong-tolongan dalam kebaikan dan bukan bertolong-tolongan dalam kejahatan.
Orang-orang tua di kampung dalam bahasa daerah kerap mengingatkan agar kita tidak menempatkan diri atau menghindarkan diri dari posisi “telur di ujung tanduk” atau “air di daun talas.”
Selamat bertugas dan selamat menghadapi berbagai tantangan, semoga berhasil dan selamat hingga akhir masa tugas di tahun 2012.

Makassar, 1 November 2007

(tulisan ini dibuat untuk muat di majalah Info Sulsel, yang diterbitkan Badan Informasi Komunikasi dan Pengelolaan Data Elektronik Pemprov Sulsel)
Menanti Perda Pembentukan Dispora Sulsel


Oleh : Asnawin


Banyak yang mengeluh karena ketiadaan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), tetapi tidak sedikit juga yang khawatir jika Dispora dibentuk.

Pembina atau pejabat yang menangani Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) misalnya, mengeluh karena keberadaan mereka ada yang dibawahi oleh Subdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS), atau Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga (Diklusepora).

Mereka mengeluh karena tidak banyak pejabat yang mengerti fungsi dan tujuan keberadaan PPLP, serta minimnya dana untuk melakukan pembinaan di PPLP.

Tugas pokok PPLP adalah mencari calon-calon atlet berusia 13-18 tahun (setingkat SMP dan SMA) di berbagai kabupaten dalam satu provinsi yang berpotensi meraih prestasi tinggi.

Atlet pelajar berprestasi itu kemudian dikumpulkan oleh PPLP untuk dilatih secara intensif dan disekolahkan atas tanggungan dari pemerintah provinsi.

Keluhan juga biasanya datang dari pembina kepemudaan, yang antara lain menangani program pertukaran pemuda antarnegara (PPAN), pertukaran pemuda antarprovinsi (PPAP), sarjana penggerak pembangunan perdesaan (SP3), koperasi usaha pemuda produktif (KUPP), dan pemilihan pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibra).

Mereka mengeluh karena program-program tersebut membutuhkan orang-orang yang paham tentang kepemudaan dan juga dibutuhkan dana yang cukup besar, tetapi kebutuhan tersebut sepertinya agak diabaikan.

Selain pihak yang mengeluh, juga ada pihak yang khawatir jika Dispora dibentuk, terutama para pemuda yang berhimpun di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP).

Mereka khawatir jika Dispora dibentuk maka mereka tidak lagi bebas kesana-kemari mencari dana untuk membiayai berbagai program kegiatannya.

Selama ini, dengan tidak adanya Dispora, maka KNPI dan OKP lebih bebas kesana-kemari mencari dana atau bekerja sama dengan berbagai instansi atau pihak. Kalau Dispora dibentuk, maka dikhawatirkan tidak ada lagi bantuan dana atau pihak yang mau bekerja sama dengan KNPI dan OKP, karena menganggap semua kebutuhannya sudah bisa dipenuhi oleh Dispora.


Budaya Berolahraga


Terlepas dari berbagai keluhan dan kekhawatiran itu, perlu juga diketahui bahwa negara kita membutuhkan pemuda-pemuda yang sehat dan cerdas. Pemuda yang bagus derajat kesehatan dan kebugaran jasmaninya, serta terpuji perilakunya.

Sayangnya, masih banyak pemuda dan masyarakat pada umumnya yang tidak menjadikan olahraga sebagai bagian dari kebutuhan hidup, sehingga tidak melakukan olahraga secara teratur dan berkesinambungan.

Berolahraga belum menjadi budaya di tengah masyarakat, termasuk di kalangan pemuda. Itu tercermin dari tingkat kemajuan pembangunan olahraga Indonesia yang hanya mencapai 34 persen (Sport Development Index/SDI)pada 2004.

Index ini dihitung berdasarkan angka indeks partisipasi, ruang terbuka, sumber daya manusia (SDM), dan kebugaran.

Berdasarkan data SDI tersebut, dapat dilihat bahwa nilai indeks partisipasi masyarakat untuk berolahraga hanya mencapai 0,354. Artinya hanya 35% masyarakat yang turut berpartisipasi dalam keolahragaan.

Nilai tersebut menunjukkan masih rendahnya budaya olahraga di negara kita. Adanya sarana dan prasarana umum untuk berolah raga yang beralihfungsi menjadi pusat peradagangan dan fasilitas lainnya, menyebabkan semakin sempitnya ruang publik untuk olahraga, sehingga pada akhirnya mempengaruhi sikap dan minat masyarakat terhadap olahraga.

Akibatnya, prestasi olahraga para atlet menurun yang juga diakibatkan oleh kurang intensifnya pembibitan dan pembinaan prestasi olahraga dalam pengembangan olahraga yang berjenjang dan berkelanjutan.

Di sinilah pentingnya dinas khusus yang menanganikeolahragaan, agar pembinaan olahraga bisa dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan. Dispora juga nantinya bertugas mendorong terbentuknya atau aktifnya klub-klub cabang olahraga sebagai ujung tombak pembinaan atlet berprestasi dan pembinaan olahraga.

Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, sebagaimana diamanahkan dalam Program Pembangunan Jangka Panjang (RPJM) Nasional 2004–2009, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.

Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) itu diharapkan menjadi solusi atas berbagai permasalahan keolahragaan di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan.

Kedua produk hukum itu juga diharapkan dapat menumbuhkan budaya berolahraga dan meningkatkan prestasi untuk kemajuan pembangunan olahraga, namun kenyataannya tidaklah demikian.

Kenyataannya, kita memang membutuhkan Dispora untuk mencapai tujuan pembangunan bidang keolahragaan nasional, yakni (1) menumbuhkan budaya olahraga sejak dini melalui jalur pendidikan olahraga di sekolah dan masyarakat; (2) meningkatkan kualitas manusia Indonesia sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang cukup; (3) serta meningkatkan usaha pembibitan dan pembinaan olahraga prestasi.


Kepemudaan


Kita sepakat bahwa pemuda adalah tulang punggung pembangunan bangsa dan negara. Pemuda juga sudah menunjukkan perannya dalam membangun semangat perjuangan, perannya dalam terbentuknya negara Indonesia, perannya dalam memerdekakan bangsaIndonesia, serta perannya pascakemerdekaan RI.Maka tidak ada lagi alasan bagi pemerintah dan parapengambil kebijakan untuk memerhatikan danmemberdayakan pemuda. Juga tidak ada alasan untuktidak membentuk Dispora sebagai lembaga yang membuatdan menyusun program pembinaan kepemudaan di tingkatprovinsi dan kabupaten, sekaligus sebagai penyambung“silaturahim” antara pemuda dengan pemerintah.Pemuda dalam hal ini bukan hanya yang sedang menempuhpendidikan formal atau para sarjana, melainkan semuakomponen pemuda, termasuk yang putus sekolah danpemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap.Kita juga mungkin perlu bertanya, masih adakah jiwanasionalisme di dada pemuda Indonesia dewasa ini ?Masih ingatkah mereka tentang sejarah Sumpah Pemuda,sejarah Kebangkitan Nasional, dan sejarah KemerdekaanIndonesia ?Kita pun perlu bertanya mengapa banyak pemuda yangterlibat aksi unjukrasa, tawuran, dan menyalahgunakannarkotika dan zat-zat adiktif lainya (narkoba) ?Pemerintah sebenarnya menyadari betapa (1) rendahnyaakses dan kesempatan pemuda untuk memperolahpendidikan, (2) rendahnya tingkat partisipasi angkatankerja (TPAK) pemuda, (3) belum serasinya kebijakankepemudaan, (4) rendahnya kemampuan kewirausahaanpemuda, (5) penyaluran aspirasi yang cenderungdestruktif, serta (6) maraknya masalah sosial, sepertikriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zatadiktif, dan HIV/AIDS. Namun berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasisemua masalah tersebut tampaknya belum optimal. Peraturan DaerahMaka sekali lagi, di sinilah pentingnya pembentukanDinas Pemuda dan Olahraga. Lembaga tersebut diharapkanmampu menciptakan pemerataan pembinaan danpengembangan kegiatan keolahragaan, peningkatan mutupelayanan minimal keolahragaan, peningkatanefektivitas dan efisiensi manajemen keolahragaan,peningkatan kesehatan, kebugaran dan prestasiolahraga, serta meningkatnya peran pemuda sebagaipilar bangsa dalam menunjang pembangunan nasionalmelalui pendidikan kepemudaan.Dispora juga diharapkan memfokuskan pembinaan pemudadi Sulawesi Selatan secara merata, berjenjang, danberkesinambungan melalui koordinasi pembinaan yangberlangsung dari semua jalur pembinaan pendidikankepemudaan. Selain itu, Dispora diharapkan mampumeningkatkan pembinaan kelembagaan kepada wadahpembinaan organisasi dan instansi yang secara langsungmaupun tidak langsung mempunyai akses dalam pembinaanpemuda di kabupaten, provinsi, dan nasional. Sebelum membentuk Dispora, mungkin perlu dilakukankajian akademik dan sosial, serta melakukan studibanding ke satu atau beberapa provinsi yang telahlebih dahulu membentuk Dispora. Sebagai bagian daripemuda dan alumni Fakultas Pendidikan Olahraga danKesehatan (FPOK), saya berharap segera Pemprov Sulselsegera membuat Peraturan Daerah (Perda) PembentukanDinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).(Asnawin adalah wartawan dan aktif dalam beberapaorganisasi kepemudaan di Makassar)

Menanti Perda Pembentukan Dispora Sulsel

Menanti Perda Pembentukan Dispora Sulsel

Oleh : Asnawin

Banyak yang mengeluh karena ketiadaan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), tetapi
tidak sedikit juga yang khawatir jika Dispora dibentuk. Pembina atau pejabat yang menangani Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) misalnya, mengeluh karena keberadaan mereka ada yang dibawahi oleh Subdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS), atau Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga (Diklusepora).
Mereka mengeluh karena tidak banyak pejabat yang mengerti fungsi dan tujuan
keberadaan PPLP, serta minimnya dana untuk melakukan pembinaan di PPLP.
Tugas pokok PPLP adalah mencari calon-calon atlet berusia 13-18 tahun (setingkat SMP
dan SMA) di berbagai kabupaten dalam satu provinsi yang berpotensi meraih prestasi tinggi.
Atlet pelajar berprestasi itu kemudian dikumpulkan oleh PPLP untuk dilatih secaraintensif dan disekolahkan, atas tanggungan dari pemerintah provinsi. Keluhan juga biasanya datang dari pembina kepemudaan, yang antara lain menangani program pertukaran pemuda antarnegara (PPAN), pertukaran pemuda antarprovinsi(PPAP), sarjana penggerak pembangunan perdesaan (SP3), koperasi usaha pemuda produktif (KUPP), dan pemilihan pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibra).
Mereka mengeluh karena program-program tersebut membutuhkan orang-orang yang paham tentang kepemudaan dan juga dibutuhkan dana yang cukup besar, tetapi kebutuhan tersebut
sepertinya agak diabaikan.
Selain pihak yang mengeluh, juga ada pihak yang khawatir jika Dispora dibentuk, terutama para pemuda yang berhimpun di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP).
Mereka khawatir jika Dispora dibentuk maka mereka tidak lagi bebas kesana-kemari mencari dana untuk membiayai berbagai program kegiatannya. Selama ini, dengan tidak adanya Dispora, maka KNPI dan OKP lebih bebas kesana-kemari mencari dana atau bekerja sama dengan berbagai instansi atau pihak.
Kalau Dispora dibentuk, maka dikhawatirkan tidak ada lagi bantuan dana atau pihak yang mau bekerja sama dengan KNPI dan OKP, karena menganggap semua kebutuhannya sudah bisa
dipenuhi oleh Dispora.

Budaya Berolahraga

Terlepas dari berbagai keluhan dan kekhawatiran itu, perlu juga diketahui bahwa negara kita membutuhkan pemuda-pemuda yang sehat dan cerdas. Pemuda yang bagus derajat kesehatan dan kebugaran jasmaninya, serta terpuji perilakunya.
Sayangnya, masih banyak pemuda dan masyarakat pada umumnya yang tidak menjadikan
olahraga sebagai bagian dari kebutuhan hidup, sehingga tidak melakukan olahraga secara teratur dan berkesinambungan.
Berolahraga belum menjadi budaya di tengah masyarakat, termasuk di kalangan pemuda. Itu tercermin dari tingkat kemajuan pembangunan olahraga Indonesia yang hanya mencapai 34
persen (Sport Development Index/SDI) pada 2004.
Index ini dihitung berdasarkan angka indekspartisipasi, ruang terbuka, sumber daya manusia (SDM), dan kebugaran. Berdasarkan data SDI tersebut, dapat dilihat bahwa nilai indeks partisipasi masyarakat untuk berolahraga hanya mencapai 0,354. Artinya hanya 35% masyarakat yang turut berpartisipasi dalam keolahragaan.
Nilai tersebut menunjukkan masih rendahnya budaya olahraga di negara kita. Adanya sarana dan prasarana umum untuk berolah raga yang beralihfungsi menjadi pusat peradagangan dan fasilitas lainnya, menyebabkan semakin sempitnya ruang publik untuk olahraga, sehingga pada akhirnya mempengaruhi sikap dan minat masyarakat terhadapolahraga.
Akibatnya, prestasi olahraga para atlet menurun yang juga diakibatkan oleh kurang intensifnya pembibitan dan pembinaan prestasi olahraga dalam pengembangan olahraga yang
berjenjang dan berkelanjutan.
Di sinilah pentingnya dinas khusus yang menangani keolahragaan, agar pembinaan
olahraga bisa dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan.
Dispora juga nantinya bertugas mendorong terbentuknya atau aktifnya klub-klub cabang
olahraga sebagai ujung tombak pembinaan atlet berprestasi dan pembinaan olahraga.
Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional, sebagaimana diamanahkan dalam Program Pembangunan Jangka Panjang (RPJM) Nasional 2004–2009, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan PeraturanPemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.
Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) itu diharapkan menjadi solusi atas
berbagai permasalahan keolahragaan di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Kedua produk hukum itu juga diharapkan dapat menumbuhkan budaya berolahraga dan meningkatkan prestasi untuk kemajuan pembangunan olahraga, namun kenyataannya tidaklah demikian.
Kenyataannya, kita memang membutuhkan Dispora untuk mencapai tujuan pembangunan
bidang keolahragaan nasional, yakni (1) menumbuhkan budaya olahraga sejak dini melalui jalur
pendidikan olahraga di sekolah dan masyarakat; (2) meningkatkan kualitas manusia Indonesia
sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang cukup; (3) serta meningkatkan usahapembibitan dan pembinaan olahraga prestasi.

Kepemudaan

Kita sepakat bahwa pemuda adalah tulang punggung pembangunan bangsa dan negara. Pemuda juga sudah menunjukkan perannya dalam membangun semangat perjuangan, perannya dalam terbentuknya negara Indonesia, perannya dalam memerdekakan bangsa Indonesia, serta perannya pascakemerdekaan RI.
Maka tidak ada lagi alasan bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan untuk
memerhatikan dan memberdayakan pemuda.
Juga tidak ada alasan untuk tidak membentuk Dispora sebagai lembaga yang membuat dan menyusun program pembinaan kepemudaan di tingkatprovinsi dan kabupaten, sekaligus sebagai penyambung “silaturahim” antara pemuda dengan pemerintah.
Pemuda dalam hal ini bukan hanya yang sedang menempuh pendidikan formal atau para
sarjana, melainkan semua komponen pemuda, termasuk yang putus sekolah dan pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Kita juga mungkin perlu bertanya, masih adakah jiwa nasionalisme di dada pemuda Indonesia dewasa ini ? Masih ingatkah mereka tentang sejarah Sumpah Pemuda, sejarah Kebangkitan Nasional, dan sejarah Kemerdekaan Indonesia ?
Kita pun perlu bertanya mengapa banyak pemuda yang terlibat aksi unjukrasa, tawuran,
dan menyalahgunakan narkotika dan zat-zat adiktif lainya (narkoba) ?
Pemerintah sebenarnya menyadari betapa (1) rendahnya akses dan kesempatan pemuda untuk memperolah pendidikan, (2) rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pemuda, (3) belum serasinya kebijakan kepemudaan, (4) rendahnya kemampuan kewirausahaan pemuda, (5) penyaluran aspirasi yang cenderung destruktif, serta (6) maraknya masalah sosial, sepertikriminalitas, premanisme, narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan HIV/AIDS.
Namun berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi semua masalah tersebut tampaknya
belum optimal.

Peraturan Daerah

Maka sekali lagi, di sinilah pentingnya pembentukan Dinas Pemuda dan Olahraga. Lembaga tersebut diharapkan mampu menciptakan pemerataan pembinaan dan pengembangan kegiatan
keolahragaan, peningkatan mutu pelayanan minimal keolahragaan, peningkatan efektivitas dan
efisiensi manajemen keolahragaan, peningkatan kesehatan, kebugaran dan prestasi olahraga,
serta meningkatnya peran pemuda sebagai pilar bangsa dalam menunjang pembangunan nasionalmelalui pendidikan kepemudaan.
Dispora juga diharapkan memfokuskan pembinaan pemuda di Sulawesi Selatan secara merata, berjenjang, dan berkesinambungan melalui koordinasi pembinaan yang berlangsung dari semua jalur pembinaan pendidikan kepemudaan. `Selain itu, Dispora diharapkan mampu peningkatkan pembinaan kelembagaan kepada wadah pembinaan organisasi dan instansi yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai akses dalam pembinaan pemuda di kabupaten, provinsi, dan nasional.
Sebelum membentuk Dispora, mungkin perlu dilakukan kajian akademik dan sosial, serta
melakukan studi banding ke satu atau beberapa provinsi yang telah lebih dahulu membentuk
Dispora.
Sebagai bagian dari pemuda dan alumni Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
(FPOK), saya berharap segera Pemprov Sulsel segera membuat Peraturan Daerah (Perda)
Pembentukan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). (penulis adalah wartawan dan aktif dalam beberapa organisasi kepemudaan di Makassar)

Keterangan : Tulisan ini dibuat untuk dimuat di Majalah Info Sulsel yang diterbitkan oleh
Badan Informasi, Komunikasi, Pengelolaa Data Elektronik Pemprov Sulsel.

Tugas Berat Pengurus Baru KNPI Sulsel

Tugas Berat Pengurus Baru KNPI Sulsel
(Renungan Bagi Peserta Musda)

Oleh: Asnawin

Sudah banyak yang tahu bahwa Komite Nasional PemudaIndonesia (KNPI) adalah wadah berhimpun Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan potensi pemuda lainnya.
Itulah sebabnya pengurus KNPI diharapkan dan seharusnya merupakan wakil-wakil dari seluruh OKP yang ada pada tingkatan masing-masing. Misalnya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KNPI, pengurusnya seharusnya terdiri atas masing-masing satu orang perwakilan dari setiap OKP tingkat nasional ditambah potensi pemuda lainnya yang tidak terhimpun di OKP.
Begitupun dengan pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I KNPI, pengurusnya tentu berasal dari OKP dan potensi pemuda lainnya di tingkat provinsi.
Kenyataannya, pengurus KNPI selalu didominasi kader dari salah satu partai politik tertentu dan secara tidak langsung menjadi salah satu “tangan” pemerintah.
Tak heran kalau KNPI selalu dipimpin atau diketuai oleh kader parpol tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Ketua KNPI pada masa lalu adalah “orang titipan” yang telah mendapat restu dari tiga jalur, yakni jalur “ABG” alias ABRI, Birokrat, dan Golkar.
Kalau bukan“orang titipan”, apalagi tidak mendapat restu dari jalur “ABG”, jangan harap bisa menjadi Ketua Umum KNPI. Karena dia “orang titipan”, maka Ketua KNPI biasanya akan mendapat tempat yang layak, baik di pemerintahan maupun di dewan (DPR RI/DPRD). Ketua KNPI juga akan mendapat tempat khusus pada setiap upacara atau peringatan hari-hari besar nasional.
Di era sekarang, KNPI sudah memiliki paradigma baru dan tidak lagi merupakan “tangan” penguasa. Ketua KNPI tidak lagi harus mendapat restu dari “ABG”. Otomatis ketua dan pengurus KNPI di era sekarang tidak lagi menjadi “anak emas”.
Ketua dan pengurus KNPI tidak lagi bisa seperti anak bayi yang jika menangis bisa langsung diberi air susu supaya kenyang dan diam. Meskipun kondisinya berbeda, sebenarnya ada persamaan antara pengurus KNPI era masa lalu dengan pengurus KNPI era sekarang, yaitu sama-sama melupakan atau lupa mensosialisasikan keberadaan KNPI ke tengah masyarakat.
Pengurus KNPI sejak dulu hingga sekarang lupa atau mungkin tidak tahu bagaimana mensosialisasikan keberadaan, fungsi, dan peran KNPI kepada para pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, profesional, dan kepada masyarakat umum.
Kalaupun dilakukan, pastilah tidak maksimal. Dalam banyak kesempatan, kerap terdengar orang bertanya; “Apa itu KNPI?”
Pertanyaan itu seharusnya tidak perlu muncul atau terlontar kalau pengurus KNPI berhasil melakukan sosialisasi. Kalau pertanyaan itu muncul dari masyarakat awam, mungkin masih agak bisa dimaklumi, tetapi ternyata mantan aktivis mahasiswa pun masih ada yang tidak mengenal KNPI dan bertanya; “Apa itu KNPI?”
Apa sajakah yang dilakukan oleh para pengurus KNPI sejak didirikan para 23 Juli 1973 hingga pengurus era milenium sekarang ini? Apakah para pengurus hanya sibuk dengan urusan politik praktis dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat? Apakah para pengurus memang tidak merasa sebagai wakil masyarakat melalui OKP dan potensi pemuda lainnya?
Sebagai pengurus KNPI Sulsel periode 2004-2007, penulis juga sebenarnya malu dan ikut merasa bertanggungjawab atas kegagalan mensosialisasikan “makhluk” bernama KNPI itu kepada masyarakat. Tetapi, secara pribadi penulis sudah berupaya melakukannya, baik melalui tulisan di media massa (cetak dan elektronik, termasuk di internet) maupun lewat berbagai kesempatan dalam kapasitas sebagai pengurus beberapa organisasi dan sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Lewat berbagai berbagai upaya itulah, penulis tahu dan merasa malu sendiri bahwa ternyata masih banyak pelajar, mahasiswa, guru, pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta, profesional, dan masyarakat umum yang tidak mengenal KNPI dan bertanya; “Apa itu KNPI?”
Kepada para calon ketua dan calon pengurus KNPI Sulsel periode 2007-2010 yang sedang mengikuti Musyawarah Daerah Pemuda/KNPI Sulsel di Hotel Singgasana, Makassar, 16-18 Desember 2007, penulis yang bakal “pensiun” karena faktor usia dan “tahu diri” (meminjam istilah HZB Palaguna, “is al”, issengi alemu), mohon izin menitipkan beberapa pesan.
Sebelum menjadi pengurus, bulatkanlah tekad untuk meluangkan waktu mengurus dan berhimpun di KNPI. Tak ada gunanya pintar, hebat, kaya, dan punya jaringan luas, kalau tidak ada waktu atau tidak bisa meluangkan waktu mengurus KNPI.
Ketua dan pengurus baru nanti, juga diharapkan menjadi “sahabat” Pemerintah Provinsi Sulsel. Sahabat yang tidak hanya pandai memuji atau menganggukkan kepala, tetapi juga mampu menunjukkan kesalahan sahabatnya (Pemprov), sekaligus bisa memberikan solusi atau jalan keluarnya.
Artinya, keberadaan KNPI Sulsel diharapkan tidak menjadi beban bagi Pemprov Sulsel, tetapi menjadi mitra yang produktif dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi Pemprov Sulsel.
Selanjutnya, ketua dan pengurus KNPI Sulsel ke depan diharapkan membuat program yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Pengurus KNPI diharapkan memilki kepedulian dan mampu ikut menjawab masalah-masalah yang kini mendera rakyat seperti : kemiskinan, kelaparan, rendahnya kualitas dan mahalnya biaya pendidikan, penganguran, mahalnya ongkos pengobatan dan harga obat-obatan, dan lain sebagainya.
Dalam rangka sosialisasi, pengurus KNPI Sulsel perlu membuat semacam program KNPI masuk ke sekolah atau KNPI masuk ke kampus, serta melibatkan pelajar dan mahasiswa dalam berbagai kegiatannya.
Dalam hal ini, KNPI bisa menjadi mediator atau fasilitator bagi sejumlah OKP yang berbasis pelajar dan mahasiswa. Ingat, pelajar dan mahasiswa adalah calon-calon pengurus KNPI yang sangat potensial dan generasi muda terpelajar calon pemimpin bangsa.

Libido Politik

KNPI memang tidak bisa dihindari sebagai “laboratorium kader”, sehingga banyak pengurus yang menjadikannya sebagai “ajang karier” politik. Juga tak perlu heran kalau di KNPI banyak trik dan intrik. Itu sah-sah saja dilakukan dan memang perlu terjadi di KNPI.
Politik boleh dilakukan oleh siapa, di mana, dan kapan saja, karena politik bukan milik siapa-siapa. Politik milik semua orang, milik kita semua. Entitas politik bisa muncul dari sekolah, kampus, pasar, mushalla, sanggar seni, tempat cukur, apalagi diwarung kopi.
Pemuda yang berhimpun di KNPI tidak boleh dilarang dan bahkan sebaiknya menjadikan KNPI sebagai “ajang karier” politik dan lain-lain.
Pemuda yang berhimpun di KNPI juga harus punya mimpi dan menggantungkan cita-cita untuk meniti karier atau meraih kesuksesan lebih tinggi. Tetapi tolong jangan lupakan paradigma barunya, tolong jangan abaikan kepentingan rakyat banyak, dan tolong lakukan sosialisasi agar jumlah orang yang bertanya; “Apa itu KNPI?” menjadi semakin berkurang. Selamat bermusyawarah! (penulis adalah pengurus KNPI Sulsel 2004-2007)

(dimuat di harian Fajar, Makassar, Senin, 17 Desember 2007)