Jumat, 31 Juli 2009

Pimpinan Pedoman Rakyat Lagi-lagi Tidak Hadir

Pimpinan Pedoman Rakyat Lagi-lagi Tidak Hadir

Pimpinan Harian Pedoman Rakyat, Ventje S Manuhua lagi-lagi tidak hadir dalam sidang gugatan wartawan dan karyawan di Pengadilan Tata Niaga Makassar, Jumat, 31 Juli 2009. Ini untuk ketiga kalinya ia mengabaikan panggilan pengadilan.

Pada sidang ketiga tersebut, dua saksi ditampilkan, yakni Asnawin dan Ignatius. Keduanya ditanyai beberapa hal dan disaksikan sejumlah pengunjung, termasuk para penggugat.

Penggugat yang terdiri atas 23 orang tersebut menuntut Pimpinan PT Media Pedoman Jaya (Harian Pedoman Rakyat) untuk menyelesaikan kewajibannya kepada wartawan dan karyawan, karena sejak tidak beroperasi lagi (harian Pedoman Rakyat tidak terbit lagi sejak 3 Oktober 2007) hingga kini, belum ada pernyataan resmi bahwa perusahaan tersebut pailit. Kalau pun sudah dinayatakan pailit, maka perusahaan harus membayar pesangon karyawan.

Doddy Amiruddin: Menabrak Pohon tetapi Selamat



MENABRAK POHON. Pada malam harinya, dia secara sembunyi-sembunyi mengeluarkan mobil ayahnya dan memacunya dengan kecepatan tinggi, padahal saat itu ia belum mahir mengendarai mobil. Entah darimana datangnya, sebuah sepeda motor melintas dan Doddy berupaya menghindarinya, tetapi naas, mobilnya menabrak pohon. Mobil hancur berantakan dan Doddy bersama saudara sepupunya tidak sadarkan diri.

Kamis, 30 Juli 2009

Pedoman Rakyat Terbit Lagi?

Pedoman Rakyat Terbit Lagi?

Saat menghadiri sebuah acara di salah satu hotel, kebetulan saya membawa tabloid Pedoman yang diterbitkan oleh beberapa mantan wartawan harian Pedoman Rakyat. Saat mengeluarkannya dari dalam tas laptop, seorang teman tiba-tiba berteriak.

"Pedoman Rakyat terbit lagi? Kenapa ukurannya jadi kecil?," tanyanya sambil meraih tabloid tersebut.

Saya kemudian menjelaskan bahwa tabloid tersebut hanya menggunakan nama Pedoman dan tidak pakai Rakyat, tetapi bukan harian Pedoman Rakyat yang dulu. Tabloid Pedoman terbit mingguan.

"Tetapi teman-teman memakai karakter huruf yang sama dengan karakter huruf harian Pedoman Rakyat," jelas saya.

"Eh, kenapa bisa Pedoman Rakyat mati?" tanyanya lagi.

"Wah, kalo itu panjang ceritanya," jawsab saya.

Pertanyaan itu sudah sering diajukan orang kepada saya. Kalau cukup waktu dan situasinya memungkinkan, maka biasanya saya akan menjelaskan, tetapi lebih sering saya hanya memberikan senyuman.

Rabu, 29 Juli 2009

Prof Johannes Gunawan Lebih Senang Disebut Penjahit

Prof Johannes Gunawan Lebih Senang Disebut Penjahit

Makassar, 29 Juli 2009.

Sekretaris Kopertis IX Sulawesi, Drs H Ibrahim Saman MM, menyebut Prof Dr Johannes Gunawan SH LLM, sebagai disainer (perancang) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Merasa "gerah" dengan sebutan itu, Prof Johannes langsung memberikan tanggapan balik.

"Saya kira terlalu besar kalau saya disebut sebagai disainer. Saya lebih senang disebut penjahit. Saya hanya menjahit keinginan banyak pihak," katanya sebelum membawakan materi pada acara Sosialisasi UU BHP bagi PTS se-Kopertis IX Sulawesi, di Hotel Singgasana, Makassar, Selasa, 28 Juli 2009.

Kadang-kadang, lanjutnya, ada juga yang menyebut dirinya sebagai bidan. Namun sebutan itu juga tidak disetujui oleh Prof Johannes yang tampil didampingi Prof Syahruddin Nawi sebagai moderator.

"Saya tidak setuju disebut bidan, karena bidan hanya membantu melahirkan, tetapi tidak turut membuat. Saya lebih senang disebut penjahit, karena saya turut terlibat dalam proses pembuatan dan tahu betul jahitan-jahitan yang ada," ujarnya sambil tersenyum.
Tentang kehadiran Prof Dr H Syahruddin Nawi sebagai moderator, Prof Johannes mengatakan baru kali ini dirinya didampingi seorang Guru Besar sebagai moderator.

"Saya sudah sering tampil sebagai pembicara dalam berbagai kegiatan seperti ini, tetapi baru kali ini saya didampingi oleh seorang profesor sebagai moderator," katanya sambil tersenyum dan melirik ke arah Prof Syahruddin Nawi.

Sosialisasi UU BHP

Sosialisasi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, tentang Badan Hukum Pendidikan, di Hotel Singgasana, Makassar, Selasa, 28 Juli 2009 itu, diselenggarakan oleh Ditjen Dikti Depdiknas RI. Acara tersebut dibuka oleh Staf Ahli Mendiknas Bidang Hukum dan Sosial/Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Prof Dr Andi Pangeran Moenta.

Pemateri yang tampil ialah Prof Dr Johannes Gunawan (membahas UU BHP), Direktur Kelembagaan Ditjen Dikti dan Kepala Biro Hukum dan Organisasi (Mekanisme Pendirian BHPM dan Penyesuaian Yayasan sebagai BHP Penyelenggara), Prof Bernadette M Waluyo (Sistem Penjaminan Mutu Institusi).

Selain itu, juga tampil pembicara dari Ikatan Notaris Indonesia (Perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan Akta Pendirian BHPM) dan Direktur Perdata DItjen Administrasi Hukum Umum Dephum dan HAM (UU No. 28 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001, tentang Yayasan/Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU tentang Yayasan).

Acara tersebut dihadiri Sekretaris Pelaksana Kopertis IX Sulawesi, Drs H Ibrahim MM, serta seraturan peserta dari berbagai perguruan tinggi se-Sulawesi.

Makassar, 29 Juli 2009
Asnawin (Humas Kopertis IX Sulawesi)

Dikti Sosialisasi UU BHP di Makassar

Dikti Sosialisasi UU BHP di Makassar

Dikti Depdiknas mengadakan sosialisasi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, tentang Badan Hukum Pendidikan, di Hotel SInggasana, Makassar, Selasa, 28 Juli 2009. Acara tersebut dibuka oleh Staf Ahli Mendiknas Bidang Hukum dan Sosial/Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Prof Dr Andi Pangeran Moenta.

Pemateri yang tampil ialah Prof Dr Johannes Gunawan (membahas UU BHP), Direktur Kelembagaan Ditjen Dikti dan Kepala Biro Hukum dan Organisasi (Mekanisme Pendirian BHPM dan Penyesuaian Yayasan sebagai BHP Penyelenggara), Prof Bernadette M Waluyo (Sistem Penjaminan Mutu Institusi).

Selain itu, juga tampil pembicara dari Ikatan Notaris Indonesia (Perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan Akta Pendirian BHPM) dan Direktur Perdata DItjen Administrasi Hukum Umum Dephum dan HAM (UU No. 28 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001, tentang Yayasan/Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU tentang Yayasan).

Acara tersebut dihadiri Sekretaris Pelaksana Kopertis IX Sulawesi, Drs H Ibrahim MM, serta seraturan peserta dari berbagai perguruan tinggi se-Sulawesi.

Makassar, 29 Juli 2009
Asnawin (Humas Kopertis IX Sulawesi)

Minggu, 26 Juli 2009

Mantan Pimpinan Perusahaan Pedoman Rakyat Meninggal Dunia

Mantan Pimpinan Perusahaan Pedoman Rakyat Meninggal Dunia

Mantan Pimpinan Perusahaan Harian Pedoman Rakyat, Lamberth Frederik Sahertian (L. F. Sahertian) meninggal dunia di Rumah Sakit Labuang Baji, Makassar, Sabtu, 25 Juli 2009. Almarhum meninggalkan seorang isteri, Anna Sahertian (70), lima anak, serta sejumlah cucu dan cicit.

"Bapak sakit mulai bulan Maret (2009) dan pernah diopname kurang lebih 20 hari di rumah sakit. Sakitnya seperti ada kelainan darah dan juga kurang darah," jelas Anna, kepada Asnawin (pengelola pedomanrakyat.blogspot.com) di rumah duka Jl. Tamalate 1/Tidung 4, Makassar, Minggu, 26 Juli 2009.

Lamberth dan Anna menikah pada tahun 1976. Dari pernikahan itu, mereka dkaruniai dua anak. Dari perkawinan sebelumnya, almarhum memiliki tiga anak.

Lamberth menjadi karyawan Harian Pedoman Rakyat pada tahun 1979. Sebelumnya, almarhum pernah bekerja sebagai karyawan Harian Tegas.

Di masa mudanya, Lamberth adalah salah seorang atlet andalan Sulsel di cabang olahraga judo.

"Bapak beberapa kali mewakili Sulsel di PON dan di berbagai kejuaraan nasional," jelas Anna.

Abdul Malik, mantan Pimpinan Perusahaan Harian Pedoman Rakyat, mengatakan, selama bekerja di Pedoman Rakyat, almarhum telah menduduki beberapa jabatan, mulai dari tata usaha, keuangan, hingga pimpinan perusahaan.

Dengan meninggalnya Bapak LF Sahertian, maka dalam dua tahun terakhir atau sejak harian Pedoman Rakyat tidak terbit lagi pada 3 September 2007, sudah lima wartawan dan karyawan harian Pedoman Rakyat yang meninggal, yaitu Usman Sanaki (karyawan), Arthur Kuse (wartawan), Abdul Latif (karyawan), Indarto (wartawan), dan LF Sahertian (karyawan).

Jumat, 24 Juli 2009

Kopertis IX Kerjasama Dengan Klub Jantung Sehat

Kopertis IX Kerjasama Dengan Klub Jantung Sehat

18 Juli 2009 jam 10:53
www.antara-sulawesiselatan.com

Makassar (ANTARA News) - Kopertis Wilayah IX Sulawesi bekerja sama dengan Klub Jantung Sehat Makassar mengadakan lomba Senam Jantung Sehat antarPerguruan Tinggi Swasta (PTS) se-Sulawesi.

Instruktur senam Klub Jantung Sehat Makassar, Deli Djafar di Makassar, Jumat, mengatakan, lomba senam jantung sehat biasanya menggunakan formasi enam orang setiap regu.

"Biasanya enam orang satu regu. Boleh laki-laki semua, boleh perempuan semua, dan juga boleh campur. Yang penting jumlahnya enam orang," jelasnya.

Dosen Universitas Islam Makassar (UIM) ini mengatakan, gerakan senam jantung sehat dapat dikuasai, jika peserta mampu berlatih secara intensif dalam waktu satu minggu.

"Gerakannya tidak susah. Kita akan pakai senam jantung sehat seri tiga," katanya.

Humas Kopertis IX, Asnawin menambahkan, bagi PTS yang ada di Makassar, persiapan bisa dilakukan dengan mengikuti latihan senam jantung sehat di Kantor Kopertis IX setiap hari Jumat atau mengundang khusus pelatih dari Klub Jantung Sehat.

"Kalau mau, instrukturnya bisa didatangkan ke Kantor Kopertis IX, lalu setiap PTS mengirimkan regu senamnya untuk dilatih," ujarnya.

Prof Dr HM Tahir Malik MS yang akan menjadi Ketua Panitia Senam Jantung Sehat tingkat Kopertis IX Sulawesi mengatakan, lomba tersebut akan mendorong seluruh PTS untuk mengadakan latihan senam jantung sehat di kampusnya masing-masing.

Tahir berharap, kegiatan senam jantung sehat ini dapat digelar dalam rangka peringatan Proklamasi 17 Agustus 2009. (Edisi : Sabtu, 18 Juli 2009 02:16)

(T.PK-HK/F003)

Kamis, 23 Juli 2009

Daftar Pahlawan Nasional Indonesia


SULTAN HASANUDDIN lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631, dan meninggal di Makassar, pada 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia, yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja dia lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin. Dia diangkat menjadi Sultan ke-6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).

Minggu, 12 Juli 2009

Museum Mendatangi Pengunjung



Museum Indonesia di TMII dibangun dengan Arsitektur Bali, merupakan museum etnologi yang memajang berbagai artefak dan cara hidup suku bangsa di Indonesia. (Foto: Gunawan Kartapranata; Sumber: Wikipedia.org)

Kurator adalah Jiwanya Museum




Koleksi adalah benda mati, tetapi benda itu akan hidup bila dikelola dengan baik oleh kuratornya. Benda itu akan berbicara tentang dirinya dan tentang manusia pendukungnya. Para pencinta museum sering mengatakan bahwa kurator adalah jiwa atau jantung museum, preparasi dan konservasi adalah anggota tubuhnya, sedangkan edukator adalah wajahnya. (Foto: thesukarnocenter.com)


Koleksi Museum Harus Dirawat dan Diteliti


BENDI ini merupakan salah satu koleksi yang ada di Museum La Galigo, Benteng Ujungpandang, Makassar. Koleksi adalah benda mati, tetapi benda itu akan hidup bila dikelola dengan baik oleh kuratornya. Benda itu akan berbicara tentang dirinya dan tentang manusia pendukungnya. (int)

Pintu Masuk Pertama Wisatawan


SARANA PEMBELAJARAN. Museum La Galigo yang terdapat di Kompleks Benteng Rotterdam Makassar, tidak lagi hanya memamerkan warisan budaya, sejarah, serta spesimen flora dan fauna, melainkan sudah dikembangkan menjadi instrumen pendidikan yang sangat berkesan atau menjadi sarana pembelajaran kepada masyarakat, termasuk pelajar dan mahasiswa. (dok pribadi)

Mengenali dan Mengembangkan Harian Pedoman Rakyat




Beberapa puluh tahun lalu, LE Manuhua mampu meneruskan penerbitan, membesarkan, dan turut menjadi besar bersama Pedoman Rakyat. Kita mungkin tidak sehebat almarhum LE Manuhua, tetapi semangatnya bisa kita pakai untuk meneruskan dan membesarkan kembali harian ini.

Semangat almarhum Lazarus Eduard Manuhua ada pada anak-anaknya. Semangat almarhum Lazarus Eduard Manuhua ada para keluarganya. Semangat almarhum Lazarus Eduard Manuhua ada pada kita semua.

Pemuda dan Pendidikan di Indonesia


Pemuda dan Pendidikan di Indonesia

Oleh: Asnawin


Pemuda adalah generasi penerus harapan bangsa. Pemuda Indonesia berperan besar memerdekakan bangsanya dari penjajahan. Pemuda jualah yang menculik dan memaksa Soekarno dan Hatta membuat dan membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sebelum Indonesia merdeka, para pemuda sudah mengenal arti penting persatuan dan kesatuan. Mereka mendirikan berbagai organisasi. Mereka juga menyadari betapa penting arti pendidikan bagi para pemuda dan masyarakat Indonesia.
Dalam uraian berikut akan dipaparkan bagaimana peran dan pemikiran pemuda (termasuk mahasiswa) di masa perjuangan kemerdekaan, serta visi pendidikan mereka untuk bangsa Indonesia ke depan.
Di akhir abad ke-19, para pemuda di berbagai provinsi membentuk organisasi yang sifatnya lokal. Pemuda di Sulawesi bersatu dan menamakan diri mereka Jong Celebes. Pemuda di Sumatera bergabung dan menamakan diri Jong Sumateranen Bond. Ada juga Yong Ambon, ada Pemoeda Kaoem Betawi, ada Jong Bataks Bond, dan ada Jong Java.
Organisasi pemuda yang cukup besar dan disebut-sebut sebagai organisasi pemuda nasional pertama berdiri pada 1908, dengan nama Boedi Oetomo (Budi Utomo=Budi Utama).
Boedi Oetomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Boedi Oetomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman.
Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu.
Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik, mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.
Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa orang-orang lain mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak, bahkan tidak menerima, orang Jawa sesama penduduk Pulau Jawa untuk menjadi anggota perkumpulan yang eksklusif, seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan, serta memperbaiki nasib bangsanya.
Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku.
Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya.
Dengan demikian, pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja, karena menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.
Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah, dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado di Sulawesi mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik dibanding orang Jawa. Padahal, dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama, hanya karena khawatir untuk ditolak.
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya.
Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, jadi bukan hanya berorganisasi.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua"-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

Sumpah Pemuda

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada bulan Oktober 1928, puluhan pemuda Indonesia dari berbagai provinsi mengadakan pertemuan yang mereka namakan ”Kongres Pemoeda II” dan diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta).
Para pemuda Indonesia itu berasal dari berbagai suku, agama, dan ras. Perbedaan dan kepentingan pribadi maupun golongan telah lebur menjadi satu jiwa yaitu persatuan dan kesatuan menuju terciptanya sebuah negara dan bangsa merdeka yang dicita-citakan.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia.
Kongres berlangsung selama dua hari yakni pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Para perwakilan pemuda yang hadir antara lain Ketua panitia: Soegondo Djojopoespito (PPPI), Wakil Ketua RM Djoko Marsaid (Jong Java), Sekretaris Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond), dan Bendahara Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond).
Selanjutnya Pembantu I Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), Pembantu II R Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia), Pembantu III Senduk (Jong Celebes), Pembantu IV Johanes Leimena (yong Ambon), serta Pembantu V Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi).
Puluhan pemuda lainnya juga aktif sebagai peserta. Pertemuan tersebut juga dihadiri Van der Plaas yang mewakili Pemerintah Belanda.
Selain itu, juga hadir Golongan Timur Asing Tionghoa sebagai peninjau Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda. Mereka berjumlah empat orang, Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien kwie.
Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng.
Dalam sambutannya, Ketua PPI Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda.
Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan.
Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola (dimainkan dengan biola saja atas saran Sugondo kepada Supratman).
Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Setelah bersidang dan mendengarkan pemaparan beberapa tokoh, Kongres Pemoeda akhirnya sepakat membuat sumpah yang disebut ”Soempah Pemoeda.”
Naskah aslinya berbunyi :
SOEMPAH PEMOEDA. Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA. Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA. Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Djakarta, 28 Oktober 1928.
Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat, yang sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda. Gedung yang dijadikan tempat pembacaan teks Sumpah Pemuda waktu itu adalah milik seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 28 Oktober kemudian diperingati sebagai "Hari Sumpah Pemuda."

Generasi 1945

Muhammad Hatta alias Bung Hatta ketika masih kuliah di Belanda, bersama sejumlah rekannya sesama mahasiswa Indonesia, mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922. Belakangan organisasi ini berubah menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Selain itu, di Indonesia juga berdiri sejumlah organisasi, seperti Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, serta Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme.
Berdirinya organisasi itu di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan organisasi Boedi Oetomo, karena banyak orang kemudian memandang Boedi Oetomo terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa).
Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, Boedi Oetomo juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Setelah kembali ke Indonesia, para pemuda Indonesia yang pernah sekolah di Belanda kemudian membentuk kelompok studi. Itu dilakukan karena mereka kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia.
Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo.
Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas.
Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik.
Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vakum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama.
Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan. Peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.

Angkatan ‘66

Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi di bawah partai-partai politik.
Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Di antara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955.
CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI. Kenyataan itu menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa lalu membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional.
Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).

Gerakan Reformasi

Tahun 1998, mahasiswa bersama sejumlah tokoh nasional, antara lain Amien Rais, melakukan gerakan reformasi yang bertujuan mengakhiri tampuk pimpinan nasional Orde Baru.
Kepemimpinan nasional Orde Baru selama lebih dari 30 tahun hanya dipegang oleh satu orang, yakni Presiden Soeharto. Karena kuatnya desakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, akhirnya Soeharto terpaksa mengundurkan diri dan menyerahkan kursi Presiden kepada wakilnya, BJ Habibie.
Gerakan reformasi juga mengusung isu penghapusan "KKN" alias korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pendidikan di Indonesia

Pendidikan formal di Indonesia dewasa ini masih menjadi bagian dari tradisi pendidikan zaman Hindia Belanda.
Motivasi penjajah Belanda ketika itu yakni menyekolahkan rakyat Indonesia sekadar berketerampilan baca, tulis, hitung, karena nantinya mereka ‘cuma’ dikaryakan menjadi pegawai rendahan di perkebunan dan pabrik orang-orang Belanda.
Sekolah ini pun oleh Belanda dibuat diskriminatif, karena ada Sekolah Rakyat untuk rakyat jelata, serta ada HIS, ELS, dan HCS untuk bangsawan dan orang-orang kaya pribumi.
Wilde Ordonantee School atau Ordonansi Sekolah Liar kemudian dikeluarkan, ketika pemuda-pemuda Indonesia mengkritisi kebijakan diskrimintaif itu dengan mendirikan sekolah-sekolah swasta, yang digagas oleh para aktivis Muhammadiyah, Ma’arif, Jamiatul Khair, Taman Siswa, dan pesantren-pesantren.
Meski kemudian Belanda hengkang dari Indonesia, namun warisan paradigmatik yang mengakar sekian lama tetap saja tak menguntungkan sekolah-sekolah swasta, apalagi yang bersifat sekolah alternatif nonformal.
Jika ditarik garis merahnya, ternyata perjuangan pemuda dan aktivis pendidikan masa kini tak jauh bedanya dengan perjuangan pemuda Indonesia masa lampau. Yaitu sama-sama membebaskan diri dari penindasan.
Bedanya, jika pemuda dulu memperjuangkan pendidikan untuk memupuk semangat kebangsaan dan meraih kemerdekaan fisik, maka pemuda masa kini memperjuangkan kemerdekaan atau kebebasan dari cara berpikir sempit terhadap ilmu dan pendidikan, yang mucul dari sisa-sisa karakter inferioritas bangsa yang pernah terjajah.
Pemuda pejuang pendidikan masa kini juga berhadapan dengan agressor zaman baru yakni kapitalisme pendidikan.
Di bawah “penjajah baru” tersebut, hak warga negara untuk mengakses pendidikan bermutu terhalang oleh ketidakmampuan ekonomi atau kesejahteraan, yang faktanya tidak pernah merata dirasakan rakyat. Hanya orang kaya yang bisa sekolah di sekolah favorit dan ternama, meskipun konstitusi negara mewajibkan negara bertanggungjawab terhadap kekuatan pendidikan rakyatnya.
Para pemuda menyadari bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan jiwa patriotik dan rasa kesetiakawanan sosial.
Banyaknya aksi unjukrasa yang dilakukan mahasiswa untuk menentang komersialisasi dunia pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, banyaknya pungutan resmi dan pungutan liar di sekolah, serta berbagai bentuk “penjajahan” dan “penindasan” lainnya, merupakan salah satu wujud jiwa patriotik dan rasa kesetiakawanan sosial perjuangan pemuda.
Kini, para mantan aktivis mahasiswa, para pemuda yang telah menduduki kursi eksekutif dan kursi legislatif, dituntut memperjuangkan “kemerdekaan” rakyat dari “penjajahan” di dunia pendidikan.
Tetapi mungkinkah para pemuda dan mantan aktivis mahasiswa dapat bersatu seperti para pemuda zaman sebelum penjajahan untuk memperjuangkan hal tersebut? Pertanyaan ini perlu dikemukakan, karena para pemuda zaman sekarang tampaknya semakin terkotak-kotak dan kian sulit bersatu.
Buktinya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang merupakan wadah berhimpun Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan potensi pemuda lainnya, kini pecah menjadi dua kepengurusan di tingkat pusat.
Besarnya godaan parpol dan kursi empuk legislatif juga membuat para pemuda Indonesia dewasa ini “bercerai-berai.”
Seharusnya, di mana pun mereka berkiprah dan apapun yang terjadi, para pemuda harus tetap bersatu memperjuangkan hak-hak rakyat, termasuk membebaskan rakyat dari “penjajahan” di dunia pendidikan. (penulis adalah dosen, wartawan, dan mantan aktivis pemuda)

@-artikel ini dimuat di majalah yg diterbitkan BPSDMA Pemprov Sulsel pada Oktober 2008

Sabtu, 11 Juli 2009

Puisi Buat Si Polan

Puisi Buat Si Polan

Karya: Asnawin

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Biasa-biasa saja

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Tidak terlalu dikenal

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Bukan mahasiswa berprestasi

Ketika masih kuliah
Si Polan....
Bukanlah siapa-siapa

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Menjadi pegawai negeri sipil

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Aktif berorganisasi

Setelah meraih sarjana
Si Polan....
Memimpin sebuah perusahaan

Setelah meraih gelar sarjana
Si Polan....
Menjadi terkenal

Si Polan muncul
Sebagai wakil dari generasi muda
Yang cukup menonjol

Si Polan dianggap sukses
Mengelola dan membesarkan
Perusahaan titipan banyak orang

Si Polan pun dianggap sukses
Memimpin
Sebuah organisasi kepemudaan

Si Polan kemudian
Memimpin
Sebuah organisasi olahraga

Si Polan berhasil
Mengangkat prestasi
Tim olahraga yang dipimpinnya

Si Polan menjadi publik figur
Kemudian
Terpilih menjadi anggota parlemen

Si Polan lalu muncul
Sebagai orang yang berkiprah
Di Ibukota Negara

Di tingkat nasional
Si Polan lagi-lagi
Mendapat kepercayaan

Di tingkat nasional
Si Polan terpilih memimpin
Perusahaan milik orang banyak

Di tingkat nasional
Si Polan terpilih memimpin
Organisasi olahraga

Nama Si Polan melambung
Nama Si Polan terkenal
Nama Si Polan menjadi buah bibir

Tapi, Si Polan biasa-biasa saja
Tapi, Si Polan tetap tampil sederhana
Tapi, Si Polan tetap rajin beribadah

Si Polan kaya raya
Si Polan punya kedudukan
Si Polan tetap Si Polan

Banyak orang
Yang....
Memuji Si Polan

Banyak orang
Yang....
Bergantung kepada Si Polan

Banyak orang
Yang....
Memanfaatkan Si Polan

Tiba-tiba...
Si Polan tersandung
Dan jatuh

Tiba-tiba...
Si Polan terjerat
Kasus korupsi

Tiba-tiba...
Si Polan sakit
Dan mendapat perawatan

Kemudian...
Si Polan diadili
Dan masuk bui

Kemudian...
Nama Si Polan
Rusak

Kemudian...
Nama Si Polan
Hancur

Banyak orang yang kaget
Banyak orang yang heran
Banyak orang yang bertanya-tanya

Benarkah...
Si Polan...
Korupsi...?

Benarkah...
Si Polan...
Jahat...?

Benarkah...
Si Polan...
Pendusta...?

Jawablah Polan!
Benarkah semua itu?
Benarkah mereka?

Jawablah Polan!
Benarkah kamu korupsi?
Benarkah kamu jahat?

Jawablah Polan!
Benarkah kamu pendusta?
Benarkah kamu pembohong?

Dulu.....
Aku.....
Mengagumimu

Dulu.....
Aku.....
Menyayangimu

Dulu.....
Aku.....
Mencintaimu

Aku ingin
Tetap....
Mengagumimu

Aku ingin
Tetap....
Menyayangimu

Aku ingin
Tetap....
Mencintaimu

Makassar, 16 September 2007

Jangan Sampai Terlindas Oleh Perubahan

Jangan Sampai Terlindas Oleh Perubahan

Karya: Asnawin

Manusia lahir sebagai bayi
Jika umur panjang,
Manusia kemudian tumbuh
Menjadi anak-anak, remaja, pemuda, dewasa, tua
Dan akhirnya meninggal dunia

Manusia berbuat, bekerja, dan berkreasi
Maka muncullah negara
Negara bagian, provinsi
Kota, kabupaten, distrik, kecamatan
Kelurahan, desa, dan seterusnya

Maka terjadilah pembangunan
Dan berkembanglah ilmu pengetahuan
Dan terciptalah teknologi
Maka terjadilah perang dan pembunuhan
Maka terjadilah perubahan

Orang miskin bisa jadi kaya
Orang kaya bisa jadi miskin
Rakyat biasa bisa jadi penguasa
Penguasa bisa jadi rakyat biasa
Itulah realitas hidup

Tapi wahai anak manusia
Perubahan memang mutlak
Tapi jangan sampai
Kalian terlindas oleh perubahan
Lalu menjadi orang hina

Hadapilah hidup ini
Hadapilah perubahan
Hadapilah semuanya
Dengan iman
Dan Takwa

Makassar, 11 Juli 2009

Rabu, 08 Juli 2009

Mereka Tak Ada Apa-apanya

Mereka Tak Ada Apa-apanya
(Buat Alifian Mallarangeng)

Karya: Asnawin

Ah, kita tidak perlu khawatir
Mereka terlalu kecil
Tak mungkin
Mampu melawan kita

Ah, mereka tak ada apa-apanya
Optimisme mereka
Tingkah polah mereka
Semuanya semu

Ah, sudahlah
Biarkan saja mereka
Bicara dan berbuat
Kita pasti menang

Makassar, 8 Juli 2009
(Hari ”H” Pemilu Presiden 2009)

Belum Saatnya

Belum Saatnya
(Buat Alifian Mallarangeng)

Karya : Asnawin

Kalian hanya etnis kecil
Jumlah kalian sedikit
Apa yang bisa kalian andalkan

Negeri ini terlalu besar
Bagi kalian
Jangan bermimpi jadi pemimpin

Etnis tertentu terlalu besar
Kalian tak akan mampu
Melawan mereka

Berhentilah bermimpi
Belum saatnya
Kalian jadi pemimpin

Makassar, 8 Juli 2009
(Hari ”H” Pemilu Presiden 2009)

Kegelisahan Seorang Wartawan



Kegelisahan Seorang Wartawan

(Sajak Buat Pengurus dan Anggota PWI Sulsel)

Oleh : Asnawin

Ada kegelisahan
Ada kesesakan
Ada kesedihan
Ada kemauan

Wartawan gelisah
Wartawan sesak
Wartawan sedih
Wartawan mau

Gelisah ingin maju dan berkualitas
Sesak sebagai anggota organisasi kewartawanan
Sedih melihat sebagian rekan wartawan lain
Mau mengangkat harkat dan martabat korps wartawan

Wahai para pengurus organisasi kewartawanan
Wahai para wartawan senior
Wahai para pemilik media massa
Wahai para wartawan muda

Masih adakah kegelisahan di tubuh kita
Masih adakah kesesakan di dada kita
Masih adakah kesedihan di hati kita
Masih adakah kemauan di diri kita

Semarang, 29 Agustus 2007

(puisi ini dimuat di Harian Fajar, Makassar, pada 17 Februari 2008)

Aku Tidak Mau Terjatuh

Aku Tidak Mau Terjatuh

Karya : Asnawin

Ranting tua itu hampir patah
Badanku terlalu berat baginya
Sudah terlalu lama aku bergelantungan
Kakiku sudah hampir mencapai tanah

Aku harus segera melompat
Aku harus pindah ke ranting lain
Aku tidak mau terjatuh
Aku tidak mau terjerembab

Karena tanah di bawah sana becek
Karena tanah di bawah sana berbau
Karena tanah di bawah sana berlumpur
Karena tanah di bawah sana kotor

Makassar, 9 November 2007

Kepekaan

Kepekaan

Karya : Asnawin

Seorang perempuan setengah baya
Duduk di tepi jalan raya depan hotel berbintang
Pakaiannya lusuh
Rambutnya acak-acakan
Di pangkuannya ada seorang bayi perempuan
Sedang tidur
Lelap
Di depan kedua perempuan itu
Tergeletak sebuah mangkok
Beberapa recehan dan lembar seribuan terlihat di sana

Seorang lelaki setengah baya
Berjalan melewati kedua perempuan itu
Pakaiannya bersih dan rapi
Rambutnya tersisir rapi
Di tangan kirinya terjinjing tas hitam
Tangan kanan memegang handphone
Dia asyik berbicara entah dengan siapa di balik telepon
Sambil tertawa-tawa
Dia berlalu begitu saja
Seolah tak melihat keberadaan kedua perempuan itu

Jakarta, 15 Mei 2008

Tanpa Kata-kata

Tanpa Kata-kata
(Buat Kakanda Putra Jaya)

Karya : Asnawin

Seorang pemuda setengah pengangguran
Menemui seorang pengusaha media
Di sebuah warung kopi
Mereka pun asyik ngobrol
Tertawa-tawa
Bersama beberapa orang dalam satu meja

Menjelang magrib
Sang pengusaha media pamit
Dia diantar beberapa orang
Si pemuda setengah pengangguran
Hanya menyalami sambil tersenyum
Lalu duduk kembali di kursinya

Tak lama kemudian
Seorang pemuda berbadan tegap
Mendatangi si pemuda pengangguran
Sambil tersenyum tangannya langsung bekerja
Menyelipkan beberapa lembar uang seratus ribu
Ke kantong si pemuda dan langsung pergi tanpa kata-kata

Jakarta, 15 Mei 2008

Jangan Jadi Wartawan

Asnawin

Jangan Jadi Wartawan

Karya : Asnawin

Jangan menjadi wartawan kalau niatnya mencari uang
Jangan menjadi wartawan kalau hanya ingin cari teman
Jangan menjadi wartawan kalau tak punya minat
Jangan menjadi wartawan kalau tak punya bakat

Jangan menjadi wartawan kalau hanya ingin cari nama
Jangan menjadi wartawan kalau hanya berbekal idealisme
Jangan menjadi wartawan kalau hanya ikut-ikutan
Jangan menjadi wartawan kalau tidak jelas masa depanmu

Jadilah wartawan karena minat, bakat, dan niat yang baik
Jadilah wartawan cerdas dan punya obsesi
Jadilah wartawan profesional
Jadilah wartawan yang disegani dan dihormati

Jakarta, 19 Mei 2008

Ternyata Tidak Mudah

Asnawin

Ternyata Tidak Mudah

Karya : Asnawin

Ketika tertumbuk pada satu persoalan
Aku ingin segera melakukan perubahan
Tetapi ternyata tidak mudah
Karena melakukan perubahan butuh keberanian

Setelah membuat konsep yang seolah-olah sudah matang
Aku ingin segera merealisasikannya
Tetapi ternyata tidak mudah
Karena merealisasikan konsep butuh modal dana

Teman-teman memberikan saran dan solusi
Aku ingin segera menempuhnya
Tetapi ternyata tidak mudah
Karena teman lain meragukannya dan menyuruhku berpikir ulang

Aku kemudian berada di persimpangan
Aku ingin segera mengakhiri semua ini
Tetapi itu juga ternyata tidak mudah
Karena aku harus tetap hidup

Makassar, 5 Juni 2008

Nama Makassar Sudah Ada Sejak 1364


JALAN SOMBA OPU Makassar pada tempo dulu. Makassar adalah nama tempat bandar niaga kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Kerajaan kembar itulah yang kemudian menyandang nama Kerajaan Makassar. Nama Makassar sudah disebut dalam naskah kuno Jawa, Negara Kertagama, yang ditulis oleh Prapanca, pada 1364. Naskah itu juga menyebut nama Luwu, Bantaeng, dan Selayar.