Rabu, 29 Agustus 2007

Pesta Rakyat dan Pesta Penguasa

Pesta Rakyat dan Penguasa Oleh : Asnawin email : asnawin@hotmail.com Negeri Khatulistiwa tengah diliputi suasana peringatan kemerdekaan. Banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh kerajaan, oleh berbagai lembaga, oleh berbagai organisasi, dan oleh rakyat. ''Saya merasa senang karena masih bisa menyaksikan berbagai kegiatan dalam rangka peringatan proklamasi,'' kata Daeng Tompo, pria berusia 70 tahun lebih, kepada rekannya Daeng Ngawing, yang usianya tidak jauh beda dengannya. Mereka berdua masih bocah berusia sekitar sepuluh tahun, ketika Negeri Khatulistiwa memerdekaan diri dari penjajahan Negeri Kincir Angin. Daeng Tompo senang karena berbagai lomba telah dan sedang dilaksanakan di kelurahannya. Daeng Tompo yang masih dipercaya menjabat Ketua RW, gembira karena di kelurahannya ada lomba mendongeng, lomba senam poco-poco, lomba pidato, lomba karaoke, lomba joget, lomba panjat pinang, pertandingan sepakbola yang pemainnya semua laki-laki tetapi memakai daster, pertandingan domino, dan macam-macam lomba, serta pertandingan lainnya. Penyerahan hadiah kepada para pemenang akan dilakukan pada acara puncak yang diberi nama Pesta Rakyat Tingkat Kelurahan. Pesta Rakyat dijadikan puncak pesta peringatan kemerdekaan, sehingga suasananya dibuat semeriah mungkin. Panggung Pesta Rakyat diramaikan oleh spanduk, umbul-umbul, baliho, serta berbagai pernak-pernik untuk menampakkan kemeriahan. Rakyat yang tidak memiliki kesibukan atau bisa meluangkan waktu di tengah berbagai kesibukannya, banyak yang berupaya terlibat dalam pelaksanaan rangkaian Pesta Rakyat itu. "Dulu, kita juga turut gembira mendengarkan pekikan merdeka dan melompat-lompat kegirangan," kata Daeng Ngawing sambil mengepulkan asap rokoknya. "Padahal, kita tidak tahu mengapa kita turut gembira ketika itu, ha...ha...ha...," ujar Daeng Tompo seraya mengulurkan tangan kanannya mengambil cangkir berisi kopi hangat. "Ya, yang penting turut bergembira, padahal tidak ada lomba. Kita juga bukan juara lomba, dan tidak ada panjat pinang, apalagi pesta rakyat," kata Daeng Ngawing yang penjual kain di pasar. "Yang penting kita gembira, ha..ha..ha....," kata Daeng Tompo seusai menyeruput kopinya. "Mungkin anak-anak sekarang juga seperti kita dulu. Mereka gembira tetapi tidak tahu mengapa gembira. Mereka tidak tahu makna di balik kegembiraan itu, makna di balik peringatan kemerdekaan," kata Daeng Ngawing tersenyum. Pesta Penguasa Daeng Tompo yang purnawirawan tentara berpangkat Letnan, tiba-tiba sedih. Air matanya meleleh. Dia sedih dan merasa berdosa, karena anak-anak dan generasi muda sekarang banyak yang larut dalam kegembiraan, tetapi tidak tahu makna di balik peringatan kemerdekaan itu. Daeng Tompo merasa berdosa karena gagal menyampaikan pesan-pesan dan semangat perjuangan kemerdekaan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Daeng Tompo juga sedih, karena Pesta Rakyat tahun ini dimanfaatkan oleh penguasa untuk mencari popularitas. Sejumlah oknum penguasa telah memanfaatkan Pesta Rakyat untuk berkampanye, karena mereka masih ingin kembali terpilih sebagai penguasa. "Pesta Rakyat tahun ini sebenarnya juga sudah menjadi Pesta Penguasa. Penguasa atau oknum penguasa turut berpesta untuk mencari popularitas demi kepentingan pribadi," ungkap Daeng Tompo sambil menyeka air matanya. "Apa boleh buat, daeng. Inilah kondisi negara kita sekarang ini," kata Daeng Ngawing yang juga tak bisa menahan air matanya mengalir di pipi. Makassar, 26 Agustus 2007 copyright@pedomanrakyat Senin, 27 Agustus 2007

Senin, 20 Agustus 2007

Proklamasi dan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Proklamasi dan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.com

Udding, bocah berusia 7 tahun, asyik bermain-main bersama beberapa temannya sesama bocah laki-laki di permandian Limbua', Hila-hila, Kecamatan Bontotiro, Bulukumba.
Mereka sangat ceria. Mereka mandi di permandian itu untuk mempersiapkan diri ke masjid melaksanakan salat Jumat.
Pada saat bersamaan di Jakarta, sejumlah pemuda sedang mengawal Soekarno dan Mohammad Hatta, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
Mereka semua tegang. Mereka tengah mempersiapkan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Udding dan kawan-kawan sedang bersiap-siap ke masjid, ketika Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI. Uddin dan kawan-kawan sama sekali tidak tahu bahwa pada hari itu negaranya sudah merdeka.
Udding memang belum sekolah ketika itu. Ia baru dimasukkan ke Sekolah Rakyat (SR), pada usia delapan tahun atau setahun setelah Indonesia merdeka.
Ayah dan ibunya, Gudang Daeng Bone dan Dekka Daeng Pute' (keduanya sudah meninggal), mendaftarkan Udding di SR Bulukumba dengan nama lengkap Aminuddin G.
Enam tahun kemudian, Udding tamat SR dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Bawah (SGB) di pusat kota Bulukumba. Tamat pada 1957, Udding langsung terangkat menjadi guru Sekolah Dasar (SD) pada 1 Agustus.
Sejak itulah, ia mengabdikan dirinya sebagai guru. Tetapi profesi guru ketika itu masih cukup dihormati.
Mereka dipanggil dengan sebutan 'Tuan Guru'. Mereka selalu diundang hadir kalau ada acara keagamaan, pesta perkawinan, dan acara adat. Mereka sering dimintai pertimbangan kalau ada masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Gaji mereka memang tidak besar, tetapi Udding yang kemudian lebih akrab disapa Tuan Guru Aminuddin, bersama beberapa rekannya sudah bisa membeli sepeda dengan cara menyicil. Ia memperoleh pendapatan tambahan dengan cara membantu ayahnya menjadi tukang jahit.
Profesi tukang jahit waktu itu juga masih cukup dihormati, karena pendapatannya cukup lumayan.
Tuan Guru Aminuddin menikah dengan perempuan bernama Sitti Hasnah Bali yang pegawai negeri sipil di Kantor Pekerjaan Umum Provinsi Cabang Bulukumba.
Hingga tahun 1975, Tuan Guru Aminuddin masih memakai sepeda ke sekolah. Ia baru membeli sepeda motor pada sekitar tahun 1976 atau satu tahun sebelum terangkat menjadi kepala sekolah.

41 Tahun Mengabdi

Ironisnya, hingga pensiun pada 1998, Tuan Guru Aminuddin yang kemudian lebih akrab disapa Pak Aminuddin (sebutan "tuan guru" perlahan-lahan hilang seiring perubahan dan perkembangan zaman), sama sekali tidak pernah mendapatkan penghargaan atau tanda jasa.
Pengabdiannya sebagai guru selama 41 tahun, benar-benar tanpa tanda jasa. Dialah guru yang benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa.
Meskipun demikian, Pak Aminuddin sama sekali tidak menyesali apalagi berniat menggugat pemerintah, karena dirinya memang enggan mengurus segala macam tetek-bengek persyaratan untuk mendapatkan penghargaan atau tanda jasa, apalagi kalau harus mengeluarkan uang pelicin.
Baginya, kalau pemerintah memang menilai dirinya atau siapa saja guru yang telah memenuhi syarat untuk diberi penghargaan, maka tidak perlu banyak persyaratan dan tetek-bengek yang harus dilalui untuk menerima penghargaan itu.
Di usianya kini yang sudah menginjak 69 tahun, Pak Haji Aminuddin malah selalu ceria. Ia senang karena banyak muridnya yang sudah berhasil.
Pak Haji Aminuddin ceria karena 11 anaknya (anaknya sebenarnya 12 orang, tetapi seorang anak perempuannya meninggal pada usia 7 tahun), tak ada satu pun yang hidup menderita. Ia begitu gembira kalau 19 cucunya datang silih berganti atau berkumpul semua di rumahnya.
Pak Haji Aminuddin juga turut bergembira dan bangga menyaksikan lewat layar televisi, pemberian penghargaan dan tanda jasa kepada ratusan guru pada upacara peringatan HUT ke-62 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 17 Agustus 2007.

Makassar, 17 Agustus 2007

copryright@Pedoman Rakyat
Makassar, 20 Agustus 2007



Mengenang Detik-detik Proklamasi (3-habis)


Pagi harinya, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani, dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 WIB dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno, dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, Wakil Walikota Jakarta saat itu, dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Mengenang Detik-detik Proklamasi (2)


RUMAH PERSINGGAHAN. Inilah rumah persinggahan Soekarno (bersama isterinya, Fatmawati, dan anaknya Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, saat “diculik” kaum muda, sehari menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI. Rumah milik warga Karawang, Djiauw Kie Song, terletak di Jalan Sejarah, Dusun Kalijaya I Desa Rengasdengklok Utara, Karawang, Jawa Barat. (int)

Mengenang Detik-detik Proklamasi (1):


PROKLAMASI. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, atau 17 Ramadan 1365 Tahun Hijriah. Naskah proklamasi dibacakan oleh Ir Soekarno, didampingi oleh Drs Muhammad Hatta, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.


Bawalah Selalu "Buku Pintar"

Bawalah Selalu "Buku Pintar"

Makassar, (PR).
Novelis Naning Pranoto menganjurkan kepada para penulis cerpen pemula agar selalu membawa "buku pintar" (buku tulis, red) dan mencatat setiap ada ide yang muncul, serta tanggal munculnya ide tersebut.

Mantan wartawan yang kini mengajar di beberapa perguruan tinggi itu, juga menganjurkan agar para penulis cerpen pemula banyak membaca, banyak bergaul, menulis dengan disiplin, menyediakan alat tulis yang memadai, menyiapkan ruang (tempat dan waktu), serta berambisi membuat karya.

Anjuran tersebut dikemukakan menjawab pertanyaan salah seorang peserta Pelatihan Penulisan Kreatif untuk Cerita Pendek Tingkat Nasional, di Gedung Bakti Jl. Dr. Soetomo, Makassar, Senin (20/8).

Naning tampil bersama budayawan Sides Sudyarto DS, pada pelatihan yang diadakan Taman Sastra Makassar dan diikuti 50 peserta dari unsur pelajar, mahasiswa, guru, dosen, wartawan, seniman, Balai Bahasa, dan masyarakat umum.

''Kita juga harus menulis dengan disiplin. Artinya, luangkanlah waktu khusus untuk menulis. Saya kreatif dan produktif menulis pada jam 3 sampai jam 10 pagi. Kalau saya menulis, tidak ada urusan dengan dunia luar. Saya bisa mengurung diri di kamar lima hari berturut-turut, kalau sedang menulis,'' tutur Naning yang salah satu novelnya berjudul "Wajah Sebuah Vagina" kini sudah terjual sekitar 50.000 eksamplar.

Untuk menjaga semangat menulis, Naning menganjurkan agar penulis pemula mengubah gayanya, meminta saran dan kritikan, serta membedah atau mendiskusikan tulisannya dengan orang lain, sedangkan Sides Sudyarto menganjurkan agar menjadikan menulis sebagai alat jihad.

''Berjihadlah lewat tulisan. Jadikan tulisan sebagai alat perjuangan untuk melawan penindasan, serta untuk membela kaum marjinal dan orang-orang yang terhinakan,'' katanya.

Ketua Panitia, Dra Anil Hukma, kepada peserta menjelaskan bahwa kehadiran Naning Pranoto dan Sides Sudyarto yang disponsori Rohto (obat tetes mata) sekaligus untuk melakukan sosialisasi Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) 2007 yang dilaksanakan Raya Kultura.

Di akhir pelatihan, pembicara dan pihak sponsor memberikan hadiah buku kepada peserta yang proaktif mengajukan pertanyaan. Wartawan "PR", Asnawin, selain mendapat buku dari Naning Pranoto, juga mendapat hadiah khusus berupa cendera mata dari Rohto selaku sponsor acara, karena pertanyaannya dinilai paling berbobot. ***

Rabu, 15 Agustus 2007

Ironi Mengejar Kekuasaan

Asnawin Ironi Mengejar Kekuasaan

Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.om

Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada sebuah negeri yang penduduknya sangat religius. Raja dan rakyatnya menerapkan hidup sederhana. Meskipun hidup sederhana, Raja sangat berwibawa dan dihormati. Rakyat begitu bangga kepada rajanya.
Sebaliknya, Sang Raja pun sangat sayang rakyatnya. Raja sering terang-terangan berkunjung dan bergaul dengan rakyat, tetapi pada saat lain, ia menyamar lalu berkunjung dan bergaul dengan rakyatnya.
Sebagai raja, ia tak lupa membangun sekolah dan rumah sakit. Ia juga membangun gudang gandum.
Dengan adanya sekolah, semua rakyat menjadi pintar membaca dan menulis.
Dengan adanya rumah sakit, rakyat yang sakit bisa diobati secara gratis, bahkan rakyat miskin disantuni, baik selama dirawat di rumah sakit, maupun selama masa penyembuhan.
Dengan adanya gudang gandum, rakyat yang kesusahan di masa paceklik, bisa mendapatkan bantuan dari raja.
Suatu hari raja sakit dan tak lama kemudian mangkat. Rakyat pun berduka.
Empat puluh hari berselang, para menteri dan hulubalang sibuk membicarakan pengganti raja. Kebetulan negeri itu tidak mengenal istilah pewaris tahta, karena raja dipilih oleh rakyat berdasarkan usulan para menteri dan hulubalang.
Para menteri dan hulubalang mendatangi Penasehat Raja untuk diminta menjadi raja, tetapi Sang Penasehat tidak bersedia.
''Saya takut tidak bisa memikul amanah yang berat,'' katanya.
Para menteri dan hulubalang kemudian mendatangi Patih Kerajaan untuk diminta menjadi raja, tetapi sang patih juga menolak.
''Saya khawatir tidak bisa menjadi raja yang baik,'' jawabnya.
Karena dua sesepuh kerajaan tidak bersedia, para menteri dan hulubalang pun kembali bersidang. Mereka saling mendorong untuk bersedia menjadi raja dan yang lain siap mendukung, tetapi tak satu pun di antara para menteri dan hulubalang yang bersedia.
Sidang pun ''dead lock'' dan diputuskan untuk dilanjutkan keesokan harinya, tetapi lagi-lagi tidak ada di antara para menteri dan hulubalang yang bersedia menjadi raja.
Akhirnya, para menteri dan hulubalang mengadakan sayembara untuk mencari raja baru. Anehnya, hingga batas akhir waktu pendaftaran sayembara ditutup, tak satu pun yang datang mendaftarkan diri untuk mengikuti pemilihan raja baru.

Calon Independen

Di negeri tetangga, peristiwa yang sama sedang terjadi. Raja jatuh sakit dan berhalangan tetap. Meskipun raja berkuasa seumur hidup, tetapi para menteri dan hulubalang tetap bersikukuh ingin mencari raja baru. Alasannya, roda pemerintahan kerajaan tidak jalan kalau raja tidak bisa menjalankan tugas.
Mereka pun mengadakan sidang untuk membahas pengganti raja. Mula-mula mereka mendatangi Penasehat Raja untuk dimintai pendapatnya, tetapi Sang Penasehat malah mengajukan diri menjadi raja, karena merasa sudah mengetahui seluk-beluk masalah kerajaan.
Setelah itu, para menteri dan hulubalang mendatangi Patih Kerajaan, tetapi belum dimintai kesediaannya, Sang Patih malah sudah lebih dahulu menyatakan kesediaannya.
''Saya tahu kalian datang untuk meminta saya menjadi raja. Ketahuilah, sebenarnya saya sudah lama mempersiapkan diri,'' katanya sambil mengusap-usap janggutnya.
Para menteri dan hulubalang kembali bersidang untuk memutuskan siapa yang akan dipilih menjadi raja. Ternyata mereka terbagi tiga kelompok. Ada yang mendukung Penasehat Raja, ada yang mendukung Patih Kerajaan, tetapi ada pula yang mengajukan calon alternatif.
''Saya juga bersedia dan sudah siap menjadi raja,'' kata salah seorang menteri.
Karena ada tiga calon yang bersedia menjadi raja dan kebetulan ketiganya memenuhi syarat, sidang pun memutuskan akan mengadakan sayembara dengan beberapa persyaratan.
Akhirnya, para menteri dan hulubalang mengadakan sayembara untuk mencari raja baru. Ternyata bukan hanya Penasehat Raja, Patih Kerajaan, dan salah seorang menteri yang mengikuti seyembara, melainkan juga ada dua kandidat lainnya.
Kedua kandidat tersebut menamakan diri calon independen dan mengaku mendapat dukungan luas dari rakyat, padahal sebenarnya mereka tidak memenuhi syarat.
Makassar, 12 Agustus 2007

(dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 13 Agustus 2007,
Halaman 17/Humaniora)

Sejarah Kota Makassar (7-habis)


VOC (Belanda) yang datang belakangan, ingin menaklukkan wilayah-wilayah di nusantara, termasuk pelabuhan Makassar, tetapi Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa tidak memberi peluang. Sultan Hasanuddin membuka peluang yang sangat luas bagi para pedagang untuk melakukan aktivis dagang tanpa mempersoalkan asal kebangsaannya, termasuk VOC, tetapi VOC ingin lebih dari itu yakni ingin menguasai jalur-jalur perdagangan di wilayah timur. (int)

Sejarah Kota Makassar (6):



SYECH YUSUF. Pesan-pesan terselubung Syech Yusuf kepada Raja Banten dan Raja Makassar (Gowa) akhirnya tercium oleh Kompeni di Batavia. Pemerintah Kompeni terkejut atas terjadinya pemberontakan rakyat Banten, pemberontakan Haji Miskin di Sumatera Barat, dan pemberontakan Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa yang ke-19) yang menggugat perjajian Bungaya dan menginginkan agar Fort Rotterdam dikembalikan kepada Kerajaan Gowa. (foto: wikipedia.org)

Sejarah Kota Makassar (5):


Tidak diragukan lagi, nama Makassar menjadi buar bibir dan harum di beberapa negara karena perjuangan, kebesaran, dan ketokohan Syech Yusuf.
Syech Yusuf adalah putra asli suku bangsa Makassar. Ia adalah anak dari Raja Gowa ke-14, Sultan Alauddin (memerintah pada 1593-1639) dari isterinya Sitti Aminah (bukan permaisuri). Syech Yusuf lahir pada 1626, ketika ayahnya giat melakukan Islamisasi ke dalam masyarakat Sulawesi Selatan.

Senin, 13 Agustus 2007

Sejarah Kota Makassar (4):



''Untuk tidak mengecewakan, maka kota pelabuhan Makassar diberi hadiah sebagai pintu gerbang, tempat berlalunya kegiatan perdagangan maritim ke kawasan timur Indonesia maupun ke negara asing lainnya. Predikat itu juga berkenan dengan pemberian status kotamadya (staatsgemeente) pada April 1906, bersama empat kota lainnya, yakni Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan,'' ungkap Edward L Poelinggomang. (int)

Sejarah Kota Makassar (3):


BENTENG SOMBA OPU. Dengan dasar itulah, Speelman menulis surat kepada Gubernur VOC di Batavia yang melaporkan bahwa pihak penguasa Kerajaan Makassar belum bersedia menerima sepenuhnya butir-butir perjanjian dan tetap menunjukkan sikap permusuhan.

Perang pun tak terhindarkan lagi antara tahun 1668 hingga 1669, tetapi perang dimenangkan oleh kompeni yang kemudian membumihanguskan Benteng Sombaopu.

Kamis, 09 Agustus 2007

Sejarah Kota Makassar (2):


BENTENG UJUNGPANDANG. Untuk melindungi kegiatan perdagangan di kota pelabuhan itu, pemerintah Kerajaan Makassar membangun sejumlah benteng pertahanan sepanjang pesisir dari yang paling utara Benteng Tallo hingga yang paling selatan Benteng Barombong. Selain benteng, sepanjang wilayah pesisir kota juga dibangun tembok yang di depannya berjejer perahu dan kapal dagang dari berbagai kerajaan di Asia Tenggara, China, dan dari Eropa. (Foto: Asnawin)

Sejarah Kota Makassar (1): Nama Makassar Sudah Ada Sejak 1364


BALAIKOTA MAKASSAR. Makassar adalah nama tempat bandar niaga kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Kerajaan kembar itulah yang kemudian menyandang nama Kerajaan Makassar. Nama Makassar sudah disebut dalam naskah kuno Jawa, Negara Kertagama, yang ditulis oleh Prapanca, pada 1364. Naskah itu juga menyebut nama Luwu, Bantaeng, dan Selayar. (int)

Rabu, 08 Agustus 2007

Syair Asli 'Indonesia Raya'


(Cipt: WR Soepratman)

Stanza 1:

Indonesia Tanah Airkoe
Tanah Toempah Darahkoe
Disanalah Akoe Berdiri
Djadi Pandoe Iboekoe

Indonesia Kebangsaankoe
Bangsa Dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe
Indonesia Bersatoe

Hidoeplah Tanahkoe
Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra'jatkoe Sem'wanja

Bangoenlah Djiwanja
Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja

(Diulang dua kali)

Stanza 2:

Indonesia Tanah Jang Moelia
Tanah Kita Jang Kaja
Disanalah Akoe Berdiri
Oentoek Slama-Lamanja

Indonesia Tanah Poesaka
P'saka Kita Semoenja
Marilah Kita Mendo'a
Indonesia Bahagia

Soeboerlah Tanahnja
Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra'jatnja Sem'wanja

Sadarlah Hatinja
Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja

(Diulang dua kali)

Stanza 3:

Indonesia Tanah Jang Seotji
Tanah Kita Jang Sakti
Disanalah Akoe Berdiri
'Njaga Iboe Sedjati

Indonesia Tanah Berseri
Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji
Indonesia Abadi

S'lamatlah Ra'jatnja
S'lamatlah Poetranja
Poelaoenja Laoetnja Sem'wanja

Madjoelah Negrinja
Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja

(Diulang dua kali)

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 6 Agustus 2007,
Halaman 17/Humaniora)

Selasa, 07 Agustus 2007

'INDONESIA RAYA' YANG ASLI DITEMUKAN


YOGYAKARTA, (PR).
  Setelah dicari selama puluhan tahun, akhirnya rekaman asli lagu kebangsaan Indonesia Raya berhasil ditemukan. Dokumen penting itu ditemukan di server Belanda sekitar 2 bulan lalu atas jasa pakar telematika Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Roy Suryo bersama relawan teknologi informasi 'Air Putih'.
  "Untuk selanjutnya rekaman asli ini akan kita serahkan ke negara sebagai arsip," kata Roy Suryo, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (3/8), seperti dilansir kantor berita antara dan www.media-indo.com.
  Dokumen yang berupa video klip berdurasi 3 menit 49 detik ini dibuat pada September 1944. Pihaknya baru berani mengumumkan penemuan ini karena perlu waktu untuk melakukan uji keaslian rekaman itu.
  Roy mengatakan pihaknya telah melakukan konfirmasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan Kepala Arsip Nasional Djoko Utomo, yang mengakui bahwa meski sudah puluhan tahun mencari, namun pihaknya belum menemukan rekaman asli lagu Indonesia Raya.
  Selain itu, tim juga sudah berkomunikasi dengan keluarga pengarang lagu Indonesia Raya, WR Supratman, yang mengakui bahwa rekaman itu adalah asli.
  "Kami juga telah menanyakan rekaman ini pada sejumlah ahli film yang juga menyatakan rekaman ini asli," tambah Roy.
  Rekaman asli lagu Indonesia Raya itu, menurut Roy, berbeda dengan lagu kebangsaan yang selama ini dinyanyikan karena terdiri dari tiga stanza. Sementara yang selama ini dinyanyikan hanya satu stanza, yang merupakan stanza pertama.
  Pada stanza kedua, syair lagu tersebut berbunyi Indonesia tanah yang mulya, tanah kita yang kaya. Di sanalah aku berada untuk selama-lamanya. Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya. Marilah kita berdoa... Indonesia bahagia. Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya, rakyatnya, semuanya. Sadarlah hatinya, sadarlah budinya untuk Indonesia Raya........
  Sedangkan stanza ketiga: Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti. Di sanalah aku berdiri m''jaga Ibu sejati. Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi. Marilah kita berjanji: Indonesia Abadi. Slamatlah tanahnya, slamatlah puteranya, pulaunya, lautnya, semuanya. Majulah negerinya, majulah pandunya untuk Indonesia Raya.........
  "Menurut saya, stanza kedua ini berisi ajakan untuk berdoa. Sedang pada stanza ketiga berisi ajakan untuk mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Sementara pada stanza pertama yang sering dinyanyikan sekarang ini ajakan untuk bersatu," katanya.
  Dalam waktu dekat, lanjut Roy, pihaknya akan menyerahkan temuan ini ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
  Roy mengaku sudah melakukan komunikasi dengan kepala ANRI Djoko Utomo, yang mengaku kaget dan gembira dengan temuan ini karena pihaknya sudah berpuluh-puluh tahun mencari dokumen tersebut tetapi tidak berhasil.
  "Mudah-mudahan Ini akan menjadi kado istimewa bagi bangsa Indonesia yang pada tanggal 17 Agustus mendatang bakal memperingati HUT RI ke-62," kata Roy Suryo.

Tunggu Keputusan Presiden

  Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Prof Ir Mohammad Nuh DEA menilai lirik lagu kebangsaan   "Indonesia Raya" versi asli yang ditemukan di perpustakaan Leiden, Belanda akan menunggu keputusan pemerintah.
  "Saya sudah melihat dokumen itu, karena itu ada dua aspek yang perlu diperhatikan, yakni keputusan pemerintah tentang lagu Indonesia Raya di masa lalu tetap legal sejak saat itu sampai sekarang," ujarnya usai meresmikan 'Kampoeng Cyber' di Rungkut Asri Utara, Surabaya, Minggu.
  Menurut dia, aspek lainnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah lagu Indonesia Raya versi asli atau versi masa lalu sangat bergantung kepada keputusan pemerintah, karena bendera atau lagu kebangsaan memamg merupakan hasil keputusan politik.
  "Jadi, temuan lagu Indonesia Raya dengan versi yang lebih lengkap harus diputuskan dengan keputusan politik, tapi selama belum ada keputusan itu, maka lagu kebangsaan yang selama ini ada tetap berlaku," ungkapnya.
Oleh karena itu, kata mantan rektor ITS Surabaya itu, peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan ke-62 RI pada 17 Agustus 2007 hendaknya menjadi momentum bagi pemerintah, DPR RI, dan lembaga hukum yang ada untuk mengeluarkan keputusan politik itu.
  "Peringatan 17-an merupakan momentum yang baik untuk keputusan itu, apakah kita memakai lagu kebangsaan dalam versi asli atau lagu kebangsaan seperti yang selama ini dipakai," tegasnya. (asnawin/pr)

Minggu, 05 Agustus 2007

Kampanye dan Propaganda


KAMPANYE. Jangan pernah berharap kampanye politik akan berlangsung positif, bersih, dan sehat. Sebaliknya, jangan pula terlalu khawatir dengan adanya kampanye negatif, kampanye hitam, atau pun propaganda negatif. Mengapa? Karena setiap pasangan kandidat presiden/wapres, kandidat gubernur/wagub, kandidat walikota/wawali, kandidat bupati/wabup, dan kandidat kepala desa, pasti ingin tampil sempurna.