Rabu, 20 Oktober 2010

Catatan Atas Program Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Sulsel




Kuncinya Political Will dan Komitmen
- Catatan Atas Program Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Sulsel


Oleh : Asnawin
(Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel)

Harian Fajar, Makassar
Rabu, 20 Oktober 2010
http://www.fajar.co.id/koran/12875081264.pdf

Terlepas dari berbagai kekurangan atau kontroversi yang berkembang mengenai program pendidikan dan kesehatan gratis di Sulsel, kita harus memberi apresiasi positif kepada Pemprov Sulsel, serta seluruh pemerintah kabupaten dan kota di daerah ini atas dilaksanakannya program pendidikan dan kesehatan gratis tersebut.

Banyak pertanyaan dan keraguan seputar program pendidikan dan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan (Sulsel). Benarkah program tersebut sudah berjalan? Benarkah tidak ada lagi pungutan di Puskesmas, di Rumah Sakit, atau di sekolah, khususnya item-item yang digratiskan? Apakah pendidikan dan kesehatan gratis hanya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu atau berlaku untuk semua?

Pertanyaan-pertanyaan itu wajar dikemukakan, karena masyarakat atau rakyat Indonesia sudah terlalu sering diberi angin surga, tetapi hampir tidak ada realisasinya, atau kalau pun ada, biasanya tidak sesuai yang diharapkan.

Kampanye wajib belajar misalnya, sudah didengungkan oleh pemerintah (pusat) sejak 1984, mulai dari wajib belajar enam tahun hingga wajib belajar sembilan tahun, tetapi sampai sekarang belum jelas apakah program tersebut sudah dilaksanakan atau belum.

Maka ketika duet Syahrul Yasin Limpo–Agus Arifin Nu’mang alias duet SAYANG menjadikan pendidikan dan kesehatan gratis sebagai jualan politiknya saat kampanye pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur beberapa tahun silam, banyak yang ragu dan curiga, bahkan tidak sedikit yang mencibir.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai program dan realisasi program pendidikan dan kesehatan gratis di Sulsel, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pendidikan dan kesehatan gratis.

Pendidikan gratis adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.

Pendidikan gratis juga dapat dimaknai sebagai upaya membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik di sekolah, sebagai perwujudan dari upaya membuka akses yang luas bagi masyarakat, untuk memperoleh pendidikan yang merupakan hak dari setiap warga negara sebagaima amanat UUD 1945 pasal 31. Hal ini diharapkan menjadi salah satu instrument untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Khusus di Sulsel, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota telah menandatangani perjanjian untuk membebaskan beberapa item pembayaran di sekolah dasar (SD) dan SLTP.

Sementara pengertian kesehatan gratis atau pelayanan kesehatan gratis, yaitu semua pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya, serta pelayanan kesehatan rujukan di kelas tiga Rumah Sakit atau Balai Kesehatan milik pemerintah (pusat dan daerah) tidak dipungut biaya dan obat yang diberikan menggunakan obat generik (formularium).

Semangat yang terkandung dalam program pendidikan gratis adalah tidak boleh lagi ada masyarakat (anak usia sekolah 7-15 tahun) Sulsel yang tidak bersekolah atau putus sekolah, hanya karena tidak punya biaya atau kesulitan ekonomi.

Begitu pula semangat yang ada dalam program kesehatan gratis, yakni tidak boleh ada masyarakat Sulsel yang tidak berobat kalau sakit, hanya gara-gara tidak punya uang.

Maka beruntunglah masyarakat Sulsel yang dapat memperoleh pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan dasar secara gratis, terutama bagi masyarakat kurang mampu, karena pemerintah provinsi serta seluruh pemerintah kabupaten dan kota sudah melaksanakan program pendidikan dan kesehatan gratis. Itu berarti, seluruh anak usia sekolah di Sulsel sudah dapat bersekolah tanpa bayar alias gratis, khususnya pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP).

Begitu pun dengan masyarakat umum yang ingin berobat di Puskesmas atau rumah sakit dengan fasilitas sampai dengan kelas tiga. Jangankan rakyat biasa atau orang miskin, bupati dan orang kaya pun dapat berobat secara gratis.

Meskipun pendidikan dan kesehatan gratis merupakan perintah UUD 1945 dan beberapa UU, tetapi tampaknya tak mudah merealisasikannya. Maka bisa dimaklumi kalau penerapannya di lapangan juga harus bertahap alias tidak langsung gratis seluruhnya, serta butuh penyesuaian di sana-sini.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah adanya political will atau kemauan politik dari Pemprov Sulsel untuk memberikan akses pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat Sulsel, khususnya bagi kalangan kurang mampu.

Dalam kunjungan Safari Jurnalistik PWI Sulsel–Pemprov Sulsel ke sejumlah kabupaten dan kota se-Sulsel, 6-10 Oktober 2010, yang diikuti puluhan wartawan, terungkap fakta bahwa sesungguhnya sudah ada kemauan politik dan komitmen dari Pemkab dan Pemkot di daerah ini.

Program pendidikan dan kesehatan gratis bahkan sudah dilaksanakan oleh beberapa kabupaten di Sulsel sejak beberapa tahun silam atau sebelum duet Syahrul Yasin Limpo–Agus Arifin Nu’mang menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel periode 2008–2013. Beberapa daerah malah memberikan pendidikan gratis 12 tahun alias mulai dari SD, SLTP, hingga SLTA. Juga ada yang memberikan subsidi bagi peserta didik pada tingkat Taman Kanak-kanak (TK).

Dalam program kesehatan gratis, juga ada daerah yang memberikan pelayanan kesehatan dasar gratis kepada seluruh masyarakat yang ber-KTP setempat, tanpa melihat status dan kondisi ekonominya. Ada lagi yang agak ekstrem, yaitu ada daerah yang memberikan sanksi kepada orang tua atau kepada wali anak yang tidak menyekolahkan anak-anak mereka, serta ada daerah yang menolak menerima dana dari Pemprov Sulsel (APBD Provinsi) untuk program pendidikan dan kesehatan gratis.

Masalah lain yang ditemukan yaitu soal pembiayaan program pendidikan dan kesehatan gratis. Berdasarkan perjanjian yang telah disepakati, Pemprov Sulsel menanggung 40 persen dana pendidikan dan kesehatan gratis, sedangkan Pemkab/Pemkot menanggung 60 persen.

Kenyataannya, beberapa daerah merasa kewalahan dengan pembagian persentase tersebut. Umumnya mereka meminta persentasenya di balik menjadi 60 persen ditanggung oleh Pemprov Sulsel dan 40 persen ditanggung oleh pemkab/pemkot.

Temuan lain yaitu kata gratis benar-benar dimaknai sebagai gratis secara keseluruhan oleh sebagian masyarakat. Mereka menganggap semua gratis, baik pendidikan maupun kesehatan, sehingga banyak masyarakat yang tidak mau lagi membayar atau berpartisipasi. Padahal, item pendidikan dan kesehatan yang digratiskan sudah jelas, serta tidak tertutup kemungkinan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, misalnya menyumbang sesuatu (dana atau barang) untuk keperluan sekolah.

Mengakhiri tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa kunci sukses keberhasilan program pendidikan dan kesehatan gratis adalah adanya political will atau kemauan politik dari para pengambil kebijakan, serta komitmen dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), terutama untuk menghilangkan seluruh rintangan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar serta untuk menempuh pendidikan dasar.

Selanjutnya, program tersebut hendaknya dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar, karena pendidikan dan kesehatan gratis tidak berarti hanya bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas pendidikan dan kesehatan semata, melainkan perlu ditunjang perbaikan mutu yang terus menerus, sehingga tercipta masyarakat Indonesia yang cerdas, sehat, dan berdaya-saing.


[Blog ini berisi berita, artikel, feature, dan beragam informasi. Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar